BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di Indonesia pendidikan mempunyai peran yang
sangat penting bagi perkembangan pembanguna bangsa. Pendidikan dapat dienyam
melalui jalur pendidikan formal, informal, dan nonformal. Pendidikan formal
yaitu jalur pendidikan yang diakui secara resmi dan biasanya di bentuk oleh
pemerintahan pusat melalui lembaga resminya dalam bentuk sekolah. Sekolah
merupakan salah satu dari Tripusat pendidikan yang dituntut untuk mampu
menjadikan output yang unggul,
mengutip pendapat Gorton tentang sekolah ia mengemukakan, bahwa sekolah adalah
suatu sistem organisasi, di mana terdapat sejumlah orang yang bekerja sama
dalam rangka mencapai tujuan sekolah yang dikenal sebagai tujuan instruksional.
Desain organisasi sekolah adalah di dalamnya
terdapat tim administrasi sekolah yang terdiri dari sekelompok orang yang
bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan oranisasi.
Dalam sebuah organisasi
maka sangat diperlukan adanya sebuah manajemen yang tepat dan mampu memberikan
sebuah perbaikan-perbaikan begitu juga dalam sebuah organisasi pendidikan yaitu
sekolah maka harus ada sebuah menejemen yang mampu mengarahkan kepada arah
pendidikan yang lebih baik lagi.lembaga-lembaga pendidikan dituntut untuk dapat
meningkatkan kualitas pendidikan di lembaganya masing-masing. Penerapan
manajemen dalam pendidikan sangat penting karena pendidikan itu merupakan salah
satu dinamisator pembangunan itu sendiri.
MBS terlahir dengan beberapa nama yang berbeda,
yaitu tata kelola berbasis sekolah (school-based
governance), manajemen mandiri sekolah (school
self-manegement), dan bahkan juga dikenal dengan school site management atau manajemen yang bermarkas di sekolah.
Istilah-istilah tersebut memang mempunyai
pengertian dengan penekanan yang sedikit berbeda. Namun, nama-nama tersebut
memiliki roh yang sama, yakni sekolah diharapkan dapat menjadi lebih otonom
dalam pelaksanaan manajemen sekolahnya, khususnya dalam penggunakaan 3M-nya,
yakni man, money, dan material.
Penyerahan otonomi dalam pengelolaan sekolah ini
diberikan tidak lain dan tidak bukan adalah dalam rangka peningkatan mutu
pendidikan. Oleh karena itu, maka Direktorat Pembinaan SMP menamakan MBS
sebagai Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS).
Tujuan utama adalah untuk mengembangkan prosedur
kebijakan sekolah, memecahkan masalah-masalah umum, memanfaatkan semua potensi
individu yang tergabung dalam tim tersebut. Sehingga sekolah selain dapat
mencetak orang yang cerdas juga dapat mempersiapkan tenaga-tenaga pembangunan.
Oleh karena itu perlu diketahui pandangan
filosofis tentang hakekat sekolah dan masyarakat dalam kehidupan kita. sekolah
adalah bagian yang integral dari masyarakat, ia bukan merupakan lembaga yang
terpisah dari masyarakat, hak hidup dan kelangsungan hidup sekolah bergantung
pada masyarakat, sekolah adlah lembaga sosial yang berfungsi untuk melayani
anggota-anggota masyarakat dalam bidang pendidikan, kemajuan sekolah dan masyarakat
saling berkolerasi, keduanya saling membutuhkan, Masyarakat adalah pemilik
sekolah, sekolah ada karena masyarakat memerlukannya.
1.2 Rumusan masalah
Adapun beberapa
rumusan masalah yang menjadi pertimbangan dibuatnya makalah ini adalah sebagai
berikut :
1. Apa
yang dimaksud dengan menejemen berbasis sekolah
(MBS)?
2. Apa
tujuan dari menejemen berbasis sekolah (MBS)?
3. Apa
saja prinsip dalam menejemen berbasis sekolah
(MBS)?
4. Apa
saja komponen dalam menejemen berbasis sekolah
(MBS)?
5. Apa
saja konsep dari manajemen berbasis sekolah
(MBS)?
6. Apa
saja karakteristik dari manajemen berbasis sekolah (MBS)?
7. Bagaimana
penerapan dari menejemen berbasis sekolah
(MBS)?
8. Bagaimana
gambaran manajemen berbasis sekolah (MBS) yang berhubungan Prestasi Belajar
Murid ?
9. Bagaimana
upaya agar manajemen berbasis sekolah (MBS) Meningkatkan Prestasi Belajar?
10. Apa
strategi peningkatan mutu pendidikan melalui manajemen berbasis sekolah (MBS)?
11. Apa hambatan
yang terjadi dalam penerapan manajemen berbasis sekolah (MBS)?
12. Apa
keuntungan dan manfaat dari penerapan manajemen berbasis sekolah (MBS)?
13. Bagaimana kepemimpinan dalam MBS?
14. Bagaimana koordinasi, Komunikasi,
dan Supervisi dalam MBS?
15. Apa indikator keberhasilan MBS?
16.
Bagaimana peran Kepala Sekolah, Guru,
Orang Tua dan Masyarakat dalam menejemen berbasis sekolah
(MBS)?
1.3 Tujuan penulisan makalah
Adapun tujuan
yang ingin dicapai dengan dibuatnya makalah ini adalah :
1. Mengetahui
apa yang dimaksud dengan menejemen berbasis sekolah
(MBS)
2. Mengetahui
tujuan dari menejemen berbasis sekolah (MBS)
3. Mengetahui
prinsip dalam menejemen berbasis sekolah (MBS)
4. Mengetahui
komponen dalam menejemen berbasis sekolah
(MBS)
5. Mengetahui
konsep dari manajemen berbasis sekolah (MBS)
6. Mengetahui
karakteristik dari manajemen berbasis sekolah (MBS)
7. Mengetahi
penerapan dari manajemen berbasis sekolah (MBS)
8. Mengetahui
gambaran manajemen berbasis sekolah (MBS) yang berhubungan prestasi belajar
murid
9. Mengetahui
upaya agar manajemen berbasis sekolah
(MBS) meningkatkan prestasi belajar
10. Mengetahui
strategi peningkatan mutu pendidikan melalui manajemen berbasis sekolah (MBS)
11. Mengetahui
hambatan yang terjadi dalam penerapan manajemen berbasis sekolah (MBS)
12. Mengetahui
keuntungan dan manfaat dari penerapan
menejemen berbasis sekolah (MBS)
13. Mengetahui kepemimpinan dalam manajemen
berbasis sekolah (MBS)
14. Mengetahui koordinasi, Komunikasi,
dan Supervisi dalam manajemen berbasis sekolah (MBS)
15. Mengetahui indikator keberhasilan manajemen
berbasis sekolah (MBS)
16.
Mengetahui Peran Kepala Sekolah, Guru,
Orang Tua dan Masyarakat dalam menejemen berbasis sekolah
(MBS)
1.4 Manfaat penulisan makalah
Adapun manfaat
yang dapat diperoleh dari makalah ini adalah :
1.
Sebagai solusi alternatif dalam
mengolola dan memanejemen pendidikan di sekolah
2.
Sebagai bahan refrensi belajar bagi penulis dan pembaca makalah ini dalam
memahami contoh dari perubahan dan inovasi pendidikan dalam aspek manejemen dan
pengololaan pendidikan khususnya di sekolah.
3.
Sebagai tugas mata kuliah pengenalan
sekolah.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian menejemen berbasis sekolah (MBS)
Istilah manajemen berbasis sekolah merupakan
terjemahan dari “school-based management”. MBS merupakan paradigma baru
pendidikan, yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah ( pelibatan
masyarakat ) dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional.
Menurut Edmond yang dikutip Suryosubroto merupakan
alternatif baru dalam pengelolaan pendidikan yang lebih menekankan kepada
kemandirian dan kreatifitas sekolah. Nurcholis mengatakan Manajemen berbasis
sekolah (MBS) adalah bentuk alternatif sekolah sebagai hasil dari
desentralisasi pendidikan.
Secara umum, manajemen peningkatan mutu berbasis
sekolah (MPMBS) dapat diartikan sebagai
model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan
mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara langsung
semua warga sekolah (guru, siswa, kepala
sekolah, karyawan, orang tua siswa, dan masyarakat) untuk meningkatkan mutu
sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional.
Lebih lanjut istilah manajemen sekolah acapkali
disandingkan dengan istilah administrasi sekolah. Berkaitan dengan itu,
terdapat tiga pandangan berbeda; pertama, mengartikan administrasi lebih luas
dari pada manajemen (manajemen merupakan inti dari administrasi); kedua,
melihat manajemen lebih luas dari pada administrasi (administrasi merupakan
inti dari manajemen); dan ketiga yang menganggap bahwa manajemen identik dengan
administrasi.
Dalam hal ini, istilah manajemen diartikan sama
dengan istilah administrasi atau pengelolaan, yaitu segala usaha bersama untuk
mendayagunakan sumber-sumber, baik personal maupun material, secara efektif dan
efisien guna menunjang tercapainya tujuan pendidikan di sekolah secara optimal.
Pengertian manajemen menurut Hasibuan merupakan ilmu dan seni mengatur proses
pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-sumber lainnya secara efektif dan
efisien untuk mencapai tujuan tertentu. Definisi manajemen tersebut menjelaskan
pada kita bahwa untuk mencapai tujuan tertentu, maka kita tidak bergerak
sendiri, tetapi membutuhkan orang lain
untuk bekerja sama dengan baik.
Berdasarkan fungsi pokoknya, istilah manajemen dan
administrasi mempunyai fungsi yang sama, yaitu: merencanakan (planning), mengorganisasikan (organizing), mengarahkan (directing), mengkoordinasikan (coordinating), mengawasi (controlling), dan mengevaluasi (evaluation).
Menurut Gaffar (1989) mengemukakan bahwa manajemen
pendidikan mengandung arti sebagai suatu proses kerja sama yang sistematik,
sitemik, dan komprehensif dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Secara leksikal, Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS) berasal dari tiga kata, yaitu manajemen, berbasis, dan
sekolah. Manajemen adalah proses menggunakan sumber daya secara efektif untuk
mencapai sasaran. Berbasis memiliki kata dasar basis yang berarti dasar atau
asas. Sekolah adalah lembaga untuk belajar dan mengajar, serta tempat menerima
dan memberikan pelajaran. Berdasarkan makna leksikal tersebut maka MBS dapat
diartikan sebagai penggunaan sumber daya yang berasaskan pada sekolah itu
sendiri dalam proses pengajaran atau pembelajaran.
Condoli memandang manajemen
berbasis sekolah (MBS) sebagai alat untuk “menekan” sekolah mengambil tanggung
jawab apa yang terjadi terhadap anak didiknya. Dengan kata lain, sekolah
mempunyai kewenangan untuk mengembangkan program pendidikan yang sesuai dengan
kebutuhan anak didik di sekolah tersebut.
Sedangkan pengertian manajemen
berbasis sekolah (MBS) menurut E. Mulyasa adalah pemberian otonomi luas pada
tingkat sekolah agar sekolah leluasa mengelola sumber daya dan sumber dana
dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan, serta lebih tanggap
dengan kebutuhan setempat.
Dalam konteks manajemen
menurut Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), berbeda dari manajemen pendidikan
sebelumnya yang semua serba diatur dari pemerintah pusat. Sebaliknya, manajemen
pendidikan model Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) ini berpusat pada sumber daya
yang ada di sekolah itu sendiri. Dengan demikian, akan terjadi perubahan
paradigma manajemen sekolah, yaitu yang semula diatur oleh birokrasi di luar
sekolah menuju pengelolaan yang berbasis pada potensi internal sekolah itu
sendiri.
Manajemen Berbasis Sekolah
(MBS) memberikan kekuasaan yang luas hingga tingkat sekolah secara langsung.
Dengan adanya kekuasaan pada tingkat lokal sekolah maka keputusan manajemen
terletak pada stakeholder lokal, dengan demikian mereka diberdayakan
untuk melakukan segala sesuatu yang berhubungan dengan kinerja sekolah. Dengan
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) terjadi proses pengambilan keputusan kolektif
ini dapat meningkatkan efektifitas pengejaran dan meningkatkan kepuasan guru.
Walaupun manajemen
berbasis sekolah (MBS) memberikan kekuasaan penuh kepada sekolah secara
individual, dalam proses pengambilan keputusan sekolah tidak boleh berada di
satu tangan saja. Ketika manajemen berbasis sekolah (MBS) belum ditetapkan,
proses pengambilan keputusan sekolah seringkali dilakukan sendiri oleh pihak
sekolah secara internal yang dipimpin langsung oleh kepala sekolah. Namun,
dalam kerangka manajemen berbasis sekolah (MBS) proses pengambilan keputusan
mengikutkan partisipasi dari berbagai pihak baik internal, eksternal, maupun
jajaran birokrasi sebagai pendukung. Dalam pengambilan keputusan harus
dilakukan secara kolektif diantara stakeholder sekolah.
Manajemen berbasis sekolah
(MBS) adalah bentuk alternatif sekolah sebagai hasil dari desentralisasi
pendidikan. Manajemen berbasis sekolah (MBS) pada prinsipnya bertumpu pada
sekolah dan masyarakat serta jauh dari birokrasi yang sentralistik. manajemen
berbasis sekolah (MBS) berpotensi untuk meningkatkan partisipasi masyarakat,
pemerataan, efisiensi, serta manajemen yang bertumpu pada tingkat sekolah. Manajemen
berbasis sekolah (MBS) dimaksudkan otonomi sekolah, menentukan sendiri apa yang
perlu diajarkan, dan mengelola sumber daya yang ada untuk berinovasi. Manajemen
berbasis sekolah (MBS) juga memiliki potensi yang besar untuk menciptakan kepala
sekolah, guru, administrator yang professional. Dengan demikian, sekolah akan
bersifat responsif terhadap kebutuhan masing-masing siswa dan masyarakat
sekolah. Prestasi belajar siswa dapat dioptimalkan melalui partisipasi langsung
orang tua dan masyarakat.
2.2 Tujuan menejemen berbasis sekolah (MBS)
Menurut
Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, tujuan manajemen berbasis
sekolah (MBS) dengan model MPMBS adalah pertama meningkatkan mutu
pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan
memberdayakan sumber daya yang tersedia. Kedua, meningkatkan kepedulian
warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui
pengambilan keputusan bersama. Ketiga, meningkatkan tanggung jawab
kepala sekolah kepada sekolahnya. Keempat, meningkatkan kompetisi yang
sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai. Selain itu, manajemen
berbasis sekolah (MBS) memiliki potensi untuk meningkatkan prestasi siswa
dikarenakan adanya peningkatan efisiensi penggunaan sumber daya dan personel,
peningkatan profesionalisme guru, penerapan reformasi kurikulum serta
meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam pendidikan.
Sedangkan E.
Mulyasa menyebutkan tujuan utama manajemen berbasis sekolah (MBS) adalah
meningkatkan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi
diperoleh melalui keleluasaan mengelola sumber daya yang ada, partisipasi
masyarakat, dan penyederhanaan birokrasi. Peningkatan mutu diperoleh melalui
partisipasi orang tua, kelenturan pengelolaan sekolah, peningkatan
profesionalisme guru, adanya hadiah dan hukuman sebagai kontrol, serta hal lain
yang dapat menumbuh kembangkan suasana yang kondusif. Pemerataan pendidikan
nampak pada tumbuhnya partisipasi masyarakat terutama yang mampu dan peduli,
sementara yang kurang mampu akan menjadi tanggung jawab pemerintah.
Dari uraian
tersebut menunjukkan bahwa manajemen berbasis sekolah (MBS) bertujuan untuk
membuat sekolah dapat lebih mandiri dalam memberdayakan sekolah melalui pemberian
kewenangan (otonomi), fleksibilitas
yang lebih besar terhadap sekolah dalam mengelola sumber daya dan mendorong
partisipasi warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Sehingga
secara garis besar tujuan manajemen
berbasis sekolah (MBS) adalah sebagai berikut :
a.
Meningkatkan mutu pendidikan melalui
kemandirian dan inisiatif sekolah dalam megelola dan memberdayakan sumber daya
yang tersedia;
b.
Meningkatkan kepedulian warga sekolah
dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan
bersama;
c.
Meningkatkan tanggung jawab sekolah
kepada orang tua, masyarakat, dan pemerintah tentang mutu sekolahnya; dan
d.
Meningkatkan kompetisi yang sehat antar
sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai.
2.3 Prinsip-prinsip Manajemen berbasis sekolah (MBS)
Teori yang digunakan Manajemen
berbasis sekolah (MBS) untuk mengelola sekolah didasarkan pada empat prinsip
yaitu:
a.
Prinsip Ekuifinalitas (Principal of Equifinality)
Prinsip ini didasarkan pada teori
manajemen modern yang berasumsi bahwa terdapat beberapa cara yang berbeda-beda
untuk mencapai suatu tujuan. MBS menekankan fleksibilitas sehingga sekolah
harus dikelola oleh warga sekolah menurut kondisi mereka masing-masing. Karena
kompleknya pekerjaan sekolah saat ini dan adanya perbedaan yang besar antara
sekolah yang satu dengan yang lain, misalnya perbedaan tingkat akademik siswa
dan situasi komunitasnya, sekolah tak dapat dijalankan dengan struktur yang
standar di seluruh kota, provinsi, apalagi negara. Sekolah harus mampu
memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapinya dengan cara yang paling tepat
dan sesuai dengan situasi dan kondisinya. Walaupun sekolah yang berbeda
memiliki masalah yang sama, cara penanganannya akan berlainan antara sekolah
yang satu dengan yang lain.
b.
Prinsip Desentralisasi (Principal of
Decentralization)
Desentralisasi adalah gejala yang
penting dalam reformasi manajemen sekolah modern. Prinsip desentralisasi ini
konsisten dengan prinsip ekuifinalitas. Prinsip desentralisasi dilandasi oleh
teori dasar bahwa pengelolaan sekolah dan aktifitas pengajaran tak dapat
dielakkan dari kesulitan dan permasalahan. Pendidikan adalah masalah yang rumit
dan kompleks sehingga memerlukan desentralisasi dalam pelaksanaannya.
Oleh karena itu, sekolah harus
diberi kekuasaan dan tanggung jawab untuk memecahkan masalahnya secara efektif
dan secepat mungkin ketika masalah itu muncul. Dengan kata lain, tujuan prinsip
desentralisasi adalah efisiensi dalam pemecahan masalah, bukan menghindari
masalah. Oleh karena itu MBS harus mampu menemukan masalah, memecahkannya tepat
waktu dan memberi sumbangan yang lebih besar terhadap efektivitas aktivitas
pengajaran dan pembelajaran. Tanpa adanya desentralisasi kewenangan kepada
sekolah itu sendiri maka sekolah tidak dapat memecahkan masalahnya secara
cepat, tepat, dan efisiensi.
c.
Prinsip Sistem Pengelolaan Mandiri (Principal of
Self Managing System)
Prinsip ini terkait dengan prinsip
sebelumnya, yaitu prinsip ekuifinalitas dan prinsip desentralisasi. Ketika
sekolah menghadapi permasalahan maka harus diselesaikan dengan caranya sendiri.
Sekolah dapat menyelesaikan masalahnya bila telah terjadi pelimpahan wewenang
dari birokrasi diatasnya ke tingkat sekolah. Dengan adanya kewenangan di
tingkat sekolah itulah maka sekolah dapat melakukan sistem pengelolaan mandiri.
d.
Prinsip Inisiatif Manusia (Principal of Human
Initiative)
Prinsip ini mengakui bahwa manusia
bukanlah sumber daya yang statis, melainkan dinamis. Oleh karena itu, potensi
sumber daya manusia harus selalu digali, ditemukan, dan kemudian dikembangkan.
Sekolah dan lembaga pendidikan yang lebih luas tidak dapat lagi menggunakan
istilah staffing yang konotasinya hanya mengelolah manusia sebagai
barang yang statis. Lembaga pendidikan harus menggunakan pendekatan human
recources development yang memiliki konotasi dinamis dan menganggap serta
memperlakukan manusia di sekolah sebagai aset yang amat penting dan memiliki
potensi untuk terus dikembangkan.
2.4 Komponen dalam manajemen berbasis
sekolah (MBS)
Manajemen
sekolah pada hakikatnya mempunyai pengertian yang hampir sama dengan manajemen
pendidikan. Ruang lingkup dan bidang kajian manajemen sekolah juga merupakan
ruang lingkup dan bidang kajian manajemen pendidikan. Namun demikian, manajemen
pendidikan mempunyai jangkauan yang lebih luas daripada manajemen sekolah.
Dengan perkataan lain, manajemen sekolah merupakan bagian dari manajemen
pendidikan, atau penerapan manajemen pendidikan dalam organisasi sekolah
sebagai salah satu komponen dari sistem pendidikan yang berlaku. Manajemen
sekolah terbatas pada salah satu sekolah saja, sedangkan manajemen pendidikan
meliputi seluruh komponen sistem pendidikan, bahkan bisa menjangkau sistem yang
lebih luas dan besar (suprasistem) secara regional, nasional, bahkan
internasional.
Hal yang
paling penting dalam implementasi Manajemen berbasis sekolah (MBS) adalah
manajemen terhadap komponen-komponen sekolah itu sendiri. Sedikitnya terdapat
tujuh komponen sekolah yang harus dikelola dengan baik dalam rangka manajemen
berbasis sekolah (MBS), yaitu:
a. Manajemen
kurikulum dan program pengajaran
- Manajemen tenaga kependidikan
- Manajemen kesiswaan
- Manajemen keuangan dan pembiayaan
- Manajemen sarana dan prasarana pendidikan
- Manajemen hubungan sekolah dengan masyarakat
- Manajemen layanan khusus.
2.5 Konsep manajemen berbasis sekolah (MBS)
Dengan
mengadopsi ide dasar Edward B. Fiska (1996) Nanang Fatah Manajemen berbasis
sekolah (MBS) secara konsepsional akan membawa dampak terhadap peningkatan
kinerja sekolah dalam hal mutu, efisiensi manajemen keuangan, pemerataan lewat
perubahan kebijakan desentralisasi di berbagai aspek seperti politik, edukatif,
administratif dan anggaran pendidikan.
Manajemen
berbasis sekolah (MBS) selain akan meningkatkan kualitas belajar mengajar dan
efisiensi operasional pendidikan, juga tujuan politik terutama iklim
demokratisasi di sekolah. Nanang Fattah mengungkapkan keberhasilan manajemen
berbasis sekolah (MBS) di Spanyol yaitu menciptakan kualitas manajemen dan
pendidikan, sebagai strategi untuk memperbaiki kinerja sekolah yang mampu
meningkatkan kemauan dan kemampuan kepala sekolah untuk memperbaiki proses
belajar mengajar. Hal ini dipandang sebagai demokrasi di tingkat lokal sekolah.
2.6 Karakteristik manajemen sekolah (MBS)
Manajemen
berbasis sekolah (MBS) yang ditawarkan sebagai bentuk operasional
desentralisasi pendidikan akan memberikan wawasan baru terhadap system yang
sedang berjalan selama ini. Hal ini diharapakan dapat membawa dampak tehadap
peningkatan efisiensi dan efektifitas kinerja sekolah, dengan menyedikan
layanan pendidikan yang komprehensif dan tanggap terhadap kebutuhan masyarakat
sekolah sestempat.
Karakteristik
manajemen berbasis sekolah (MBS) bisa diketahui antara lain dari bagaimana
sekolah dapat mengoptimalkan kinerja organisasi sekolah, proses belajar
mengajar, pengelolaan sumber daya manusia, dan pengelolaan sumber daya dan
administrasi. Sejalan dengan itu, Saud (2002) berdasrakan pelaksanaan di Negara
maju mengemukakan bahwa karakteristik dasar manajemen berbasis sekolah (MBS)
adalah pemberian otonomi yang luas kepada sekolah, partisipasi masyarakat dan
orang tua peserta didik yang tinggi. Kepemimpinan kepala sekolah yang
demokratis dan professional, serta adanya team
work yang tinggi dan professional.
1.
Pemberian otonomi luas kepada sekolah
Manajemen
berbasis sekolah (MBS) memberikan otonomi luas kepada sekolah, diserati
sepewrangkat tanggung jawab. Dengan adanya otonomi yang memberikan tanggung
jawab pengelolaan sumber daya dan pengembangan strategi sesuia dengan kondisi
setempat, sekolah dapat lebih memberdayakan tenaga kependidikan guru agar lebih
berkonsentrasi pada tugas utamanya mengajar. Dealam apada itu, sekolah sebagai
lembaga pendidikan diberi kewenangan dan kekuasaan yang luas untuk
mengembangkan program-program kurikulum dan pembelajaran sesuai dengan kondisi
dan kebutuhan peserta didik serta runtutan masyarakat. Untuk mendukung
keberhasilan program tersebut, sekolah memiliki kekuasaan dan kewenangan
mengelola dan memanfaatkan berbagai sumber daya yang tersedia di masyarakat dan
lingkungan sekitar. Selain itu, sekolah juga diberikan kewenangan untuk
menggali dan mengelola sumber dana sesuai dengan prioritas kebutuhan. Melalui
otonomi ynag luas, sekolah dapat meningkatkan kinerja tenaga kependidikan
dengan menawarkan pertisipasi aktif mereka dalam pengambilan keputusan dan
tanggung jawab bersama dalam pelaksanaan keputusan ynag diambil secara
proporsional dan professional.
2.
Partisipasi
masyarakat dan orang tua
Dalam Manajemen
berbasis sekolah (MBS) pelaksanaan program-program sekolah didukung oleh
partisipasi masyarakat dan orang tua peserta didik yang tinggi. Orang tua
peserta didik dan masyarakat tidak hanya mendukung sekolah melalui bantuan
keuangan, tetapi melalui komite sekolah dan dewan pendidikan merumuskan serta mengembangkan
program-program yang dapat meningkatkan kualitas sekolah. Masyarakat dan orang
tua menjalin kerja sama untuk membantu sekolah sebagai narasumber berbagai
kegiatan sekolah untuk meningkatkan kulaitas pembelajaran.
3.
Kepemimpinan yang demokratis dan professional
Dalam Manajemen
berbasis sekolah (MBS), pelaksanaan program-progaram sekolah didukung oleh
adanya kepemimpinan sekolah yang demokratis dan professional. Kepala sekolah
dan guru-guru sebagai tenaga pelaksana inti program sekolah merupakan
orang-orang yang memiliki kemampuan dan integritas professional. Kepala sekolah
adalah manajer pendidikan professional yang direkrut komite sekolah untuk
mengelola segala kegiatan sekolah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan.
Guru-guru yang direkrut oleh sekolah adalah pendidik yang profesionala dalam
bidangnya masing-masing, sehingga mereka bekerja berdasarkan pola kinerja
professional yang disepakati bersama untuk memberi kemudahan dan mendukung
keberhasilan pembelajaran peserta didik. Dalam proses pengambilan keputusan,
kepala sekolah mengimplementasikan proses Bottom up secara demokratis,
sehingga semua pihak memiliki tanggung jawab terhadap keputusan yang diambil
beserta pelaksanaannya.
4.
Team work yang
kompak dan transparan
Dalam Manajemen
berbasis sekolah (MBS), keberhasilan program-program sekolah didukung oleh
kinerja team work yang kompak dan transparan
dari berbagai pihak yang terlibat dalam pendidikan di sekolah. Dalam dewan
pendidikan dan komite sekolah misalnya, pihak-pihak yang terlibat bekerja sama
secara harmonis sesuai dengan posisinya masing-masing untuk mewujudkan suatu
“sekolah yang dapat dibanggakan” oleh semua pihak. Mereka tidak saling menunjukkan
kuasa atau paling berjasa, tetapi masing-masing memberi kontribusi terhadap
upaya peningkatan mutu dan kinerja sekolah secara kaffah.
Dalam
pelaksanaan program misalnya, pihak-pihak terkait bekerja sama secara
professional untuk mencapai tujuan-tujuan atau target yang disepakati bersama.
Dengan demikian, keberhasilan manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan hasil
sinergi (synergistic effect) dari kolaborasi team yang kompak dan transparan.
Dalam konsep
manajemen berbasis sekolah (MBS) kekuasaan yang dimiliki sekolah mencakup
pengambilan keputusan tentang manajamen kurikulum dan pembelajaran; rektutmen
dan manajamen tenaga kependidikan serta manajemen keuangan sekolah. (Mulyasa,
2004: 38)
2.7 Penerapan Manajemen berbasis sekolah (MBS)
Sejak
beberapa waktu terakhir, kita dikenalkan dengan pendekatan “baru” dalam
manajemen sekolah yang diacu sebagai manajemen berbasis sekolah (school based management)
atau disingkat MBS. Di Amerika Serikat, pendekatan ini sebenarnya
telah berkembang cukup lama. Pada 1988 American
Association of School Administrators, National Association of Elementary School
Principals, and National Association of Secondary School Principals,
menerbitkan dokumen berjudul school based
management, a strategy for better learning. Munculnya gagasan ini dipicu
oleh ketidakpuasan atau kegerahan para pengelola pendidikan pada level
operasional atas keterbatasan kewenangan yang mereka miliki untuk dapat
mengelola sekolah secara mandiri. Umumnya dipandang bahwa para kepala sekolah
merasa tak berdaya karena terperangkap dalam ketergantungan berlebihan terhadap
konteks pendidikan. Akibatnya, peran utama mereka sebagai pemimpin pendidikan
semakin dikerdilkan dengan rutinitas urusan birokrasi yang menumpulkan
kreativitas berinovasi.
Di
Indonesia, gagasan penerapan pendekatan ini muncul belakangan sejalan dengan
pelaksanaan otonomi daerah sebagai paradigma baru dalam pengoperasian sekolah.
Selama ini, sekolah hanyalah kepanjangan tangan birokrasi pemerintah pusat
untuk menyelenggarakan urusan politik pendidikan. Para pengelola sekolah sama
sekali tidak memiliki banyak kelonggaran untuk mengoperasikan sekolahnya secara
mandiri. Semua kebijakan tentang penyelenggaran pendidikan di sekolah umumnya
diadakan di tingkat pemerintah pusat atau sebagian di instansi vertikal dan
sekolah hanya menerima apa adanya.
Apa
saja muatan kurikulum pendidikan di sekolah adalah urusan pusat, kepala sekolah
dan guru harus melaksanakannya sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk
teknisnya. Anggaran pendidikan mengalir dari pusat ke daerah menelusuri saluran
birokrasi dengan begitu banyak simpul yang masing-masing menginginkan bagian.
Tidak heran jika nilai akhir yang diterima di tingkat paling operasional telah
menyusut lebih dari separuhnya.
Kita
khawatir, jangan-jangan selama ini lebih dari separuh dana pendidikan
sebenarnya dipakai untuk hal-hal yang sama sekali tidak atau kurang berurusan
dengan proses pembelajaran di level yang paling operasional, sekolah.
Manajemen
berbasis sekolah (MBS) adalah upaya serius yang rumit,
yang memunculkan berbagai isu kebijakan dan melibatkan banyak lini kewenangan
dalam pengambilan keputusan serta tanggung jawab dan akuntabilitas atas
konsekuensi keputusan yang diambil. Oleh sebab itu, semua pihak yang terlibat
perlu memahami benar pengertian MBS, manfaat, masalah-masalah dalam
penerapannya, dan yang terpenting adalah pengaruhnya terhadap prestasi belajar
murid.
Manajemen
berbasis sekolah dapat bermakna adalah desentralisasi yang sistematis pada
otoritas dan tanggung jawab tingkat sekolah untuk membuat keputusan atas
masalah signifikan terkait penyelenggaraan sekolah dalam kerangka kerja yang
ditetapkan oleh pusat terkait tujuan, kebijakan, kurikulum, standar, dan
akuntabilitas. Tampaknya pemerintah dari setiap negara ingin melihat adanya
transformasi sekolah. Transformasi diperoleh ketika perubahan yang signifikan,
sistematik, dan berlanjut terjadi, mengakibatkan hasil belajar siswa yang
meningkat di segala keadaan (setting),
dengan demikian memberikan kontribusi pada kesejahteraan ekonomi dan sosial
suatu negara. Manajemen berbasis sekolah selalu diusulkan sebagai satu strategi
untuk mencapai transformasi sekolah.
Manajemen
berbasis sekolah telah dilembagakan di tempat-tempat seperti Inggris, dimana
lebih dari 25.000 sekolah telah mempraktikkannya lebih dari satu dekade. Atau
seperti Selandia Baru atau Victoria, Australia atau di beberapa sistem sekolah
yang besar) di Kanada dan Amerika Serikat, dimana terdapat pengalaman sejenis
selama lebih dari satu dekade. Praktik manajemen berbasis sekolah di
tempat-tempat ini tampaknya tidak dapat dilacak mundur. Satu indikasi skala dan
lingkup minat terhadap manajemen berbasis sekolah diagendakan pada Pertemuan
Menteri-menteri Pendidikan dari Negara APEC di Chili pada April 2004. APEC (Asia Pacific Economic Cooperation)
merupakan satu jejaring 21 negara yang mengandung sepertiga dari populasi
dunia. Tema dari pertemuan adalah “mutu dalam pendidikan” dan tata kelola
merupakan satu dari empat sub tema. Perhatian khusus diarahkan pada
desentralisasi. Para menteri sangat menyarankan (endorse) manajemen berbasis sekolah sebagai satu strategi dalam
reformasi pendidikan, tatapi juga menyetujui aspek-aspek sentralisasi, seperti
kerangka kerja bagi akuntabilitas. Mereka mengakui bahwa pengaturannya akan
bervariasi di masing-masing negara, yang merefleksikan keunikan tiap-tiap
setting.
Manajemen
berbasis sekolah memiliki banyak bayangan makna. Ia telah diimplementasikan
dengan cara yang berbeda dan untuk tujuan berbeda dan pada laju yang berbeda di
tempat yang berbeda. Bahkan konsep yang lebih mendasar dari “sekolah” dan
“manajemen” adalah berbeda, seperti berbedanya budaya dan nilai yang melandasi
upaya-upaya pembuat kebijakan dan praktisi. Akan tetapi, alasan yang sama di
seluruh tempat dimana manajemen berbasis sekolah diimplementasikan adalah bahwa
adanya peningkatan otoritas dan tanggung jawab di tingkat sekolah, tetapi masih
dalam kerangka kerja yang ditetapkan di pusat untuk memastikan bahwa satu makna
sistem terpelihara. Satu implikasi penting adalah bahwa para pemimpin sekolah
harus memiliki kapasitas membuat keputusan terhadap hal-hal signifikan terkait
operasi sekolah dan mengakui dan mengambil unsur-unsur yang ditetapkan dalam
kerangka kerja pusat yang berlaku di seluruh sekolah.
Sejak
awal, pemerintah (pusat dan daerah) haruslah suportif atas gagasan Manajemen
berbasis sekolah (MBS). Mereka harus mempercayai kepala
sekolah dan dewan sekolah untuk menentukan cara mencapai sasaran pendidikan di
masing-masing sekolah. Penting artinya memiliki kesepakatan tertulis yang
memuat secara rinci peran dan tanggung jawab dewan pendidikan daerah, dinas
pendidikan daerah, kepala sekolah, dan dewan sekolah. Kesepakatan itu harus
dengan jelas menyatakan standar yang akan dipakai sebagai dasar penilaian
akuntabilitas sekolah. Setiap sekolah perlu menyusun laporan kinerja tahunan
yang mencakup “seberapa baik kinerja sekolah dalam upayanya mencapai tujuan dan
sasaran, bagaimana sekolah menggunakan sumber dayanya, dan apa rencana
selanjutnya.”
Perlu
diadakan pelatihan dalam bidang-bidang seperti dinamika kelompok, pemecahan
masalah dan pengambilan keputusan, penanganan konflik, teknik presentasi,
manajemen stress, serta komunikasi antarpribadi dalam kelompok. Pelatihan ini
ditujukan bagi semua pihak yang terlibat di sekolah dan anggota masyarakat,
khususnya pada tahap awal penerapan Manajemen berbasis sekolah
(MBS). Untuk memenuhi tantangan pekerjaan, kepala sekolah kemungkinan besar
memerlukan tambahan pelatihan kepemimpinan. Dengan kata lain, penerapan MBS
mensyaratkan yang berikut :
a.
Manajemen berbasis sekolah
(MBS) harus mendapat dukungan staf sekolah.
b.
Manajemen berbasis sekolah
(MBS) lebih mungkin berhasil jika diterapkan secara bertahap.
c.
Staf sekolah dan kantor dinas harus
memperoleh pelatihan penerapannya, pada saat yang sama juga harus belajar
menyesuaikan diri dengan peran dan saluran komunikasi yang baru.
d.
Harus disediakan dukungan anggaran untuk
pelatihan dan penyediaan waktu bagi staf untuk bertemu secara teratur.
e.
Pemerintah pusat dan daerah harus
mendelegasikan wewenang kepada kepala sekolah, dan kepala sekolah selanjutnya
berbagi kewenangan ini dengan para guru dan orang tua murid.
2.8 Manajemen berbasis sekolah (MBS)
yang berhubungan Prestasi Belajar Murid
MBS
merupakan salah satu gagasan yang diterapkan untuk meningkatkan pendidikan
umum. Tujuan akhirnya adalah meningkatkan lingkungan yang kondusif bagi
pembelajaran murid. Dengan demikian, ia bukan sekadar cara demokratis
melibatkan lebih banyak pihak dalam pengambilan keputusan. Keterlibatan itu
tidak berarti banyak jika keputusan yang diambil tidak membuahkan hasil lebih
baik.
Kita
belum memiliki pengalaman untuk mengaitkan penerapan MBS dengan prestasi
belajar murid. Di Amerika Serikat (David Peterson, ERIC_Digests, 2002) upaya
mengaitkan MBS dengan prestasi belajar murid masih problematis. Belum banyak
penelitian kuantitatif yang telah dilakukan dalam topik ini. Selain itu, masih
diragukan apakah benar penerapan MBS berkaitan dengan prestasi murid. Boleh
jadi masih banyak faktor lain yang mungkin mempengaruhi prestasi itu setelah
diterapkannya MBS. Masalah penelitian ini makin diperparah dengan tiadanya
definisi standar mengenai MBS. Studi yang dilakukan tidak selamanya
mengindikasikan sejauh mana sekolah telah mendistribusikan kembali wewenangnya.
Salah
satu studi yang dilakukan yang menelaah ratusan dokumen justru menunjukkan
bahwa dalam banyak contoh, MBS tidak mencapai tujuan yang ditetapkan. Studi itu
menunjukkan bahwa peningkatan prestasi murid tampaknya hanya terjadi di
sejumlah sekolah yang dijadikan pilot studi dan dalam jangka waktu tidak lama
pula.
Hasil
MBS di daerah perkotaan masih belum jelas benar. Di sekolah di daerah pingiran
kota Maryland menunjukkan adanya peningkatan prestasi murid dalam skor tes
terutama di kalangan orang Amerika keturunan Afrika, setelah menerapkan lima
langkah rencana reformasi, termasuk MBS. Namun, di tempat lain, seperti Dade
County, Florida, setelah menerapkan MBS selama tiga tahun, prestasi murid di
sekolah-sekolah dalam kota justru menurun.
Meskipun
peningkatan skor tes mungkin dapat dipakai sebagai indikasi langsung kemampuan
MBS meningkatkan prestasi belajar murid, cukup banyak pula bukti tidak
langsung. Misalnya, sudi kasus yang dilakukan terhadap dua distrik sekolah di
Kanada menunjukkan bahwa pengambilan keputusan yang didesentralisasikan
menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih efektif. Salah seorang guru
memutuskan untuk mengurangi penggunaan mesin fotokopi agar dapat mempekerjakan
staf tambahan. Tinjauan tahunan sekolah menunjukkan bahwa kepuasan murid
sekolah menengah pertama dan lanjutan meningkat terhadap banyak hal setelah
diadakannya pembaruan. Para murid menunjukkan adanya peningkatan dalam
bidang-bidang penting seperti kegunaan dan efektivitas mata pelajaran dan
penekanan sekolah atas sejumlah kecakapan dasar.
Pengambilan
keputusan bersama telah meningkatkan kejelasan guru tentang tujuan pengajaran
serta metode yang pada gilirannya meningkatkan efektivitas pengajaran. MBS
dipandang meningkatkan kepuasan kerja guru, khususnya ketika para guru
memainkan peranan yang lebih menentukan ketimbang sekadar memberikan saran. Di
Dade County, Florida, studi yang dilakukan menunjukkan bahwa tiga tahun
penerapan MBS memberi kontribusi pada terciptanya lingkungan yang lebih nyaman
dan lebih sedikit murid yang bermasalah.
Namun,
survei yang dilakukan di Chicago menunjukkan bahwa MBS tidak selamanya popular
di kalangan guru. Tiga perempat dari seratus orang guru yang disurvei
menyatakan bahwa reformasi desentralisasi sekolah di Chicago telah gagal
meningkatkan prestasi belajar murid, dan bahkan lebih banyak lagi responden
yang menyangkal bahwa perubahan itu telah meningkatkan motivasi guru.
Studi-studi
terkini (Caldwell & Hayward, 1998; Caldwell & Spinks, 1998; Fullan
& Watson, 2000; Ouchi & Segal, 2003; Volansky & Friedman, 2003)
telah menggarisbawahi pentingnya pembuatan keputusan setempat yang sejak awal
tertuju pada belajar dan mengajar dan dukungan terhadap belajar dan mengajar,
terutama dalam membangun kapasitas staf untuk mendesain dan menyampaikan
kurikulum dan pembelajaran yang memenuhi kebutuhan siswa, dengan memperhatikan
prioritas kebutuhan setempat, termasuk kemampuan mengidentifikasi kebutuhan dan
memonitori keluaran. Juga terlihat pentingnya membangun kapasitas masyarakat
untuk mendukung upaya sekolah. Dengan kata lain, penerapakn manajemen berbasis
sekolah mungkin tidak berdampak pada belajar kecuali aturan-aturan ini, yang
secara umum disebut peningkatan kapasitas dan pemanfaatan kapasitas, telah
berhasil.
Di
tingkat makro, studi internasional tentang prestasi siswa seperti TIMSS dan
TIMSS-R dan PISA dan PISA telah mengkonfirmasi pentingnya keseimbangan antara
sentralisasi dan desentralisasi, dengan manajemen berbasis sekolah relatif
lebih tinggi sebagai satu unsur desentralisasi, termasuk pembuatan keputusan
lokal menyangkut masalah personel, profesionalisme, monitoring keluaran, dan
membangun dukungan masyarakat.
Hal-hal
di atas mencerminkan pentingnya modal intelektual dan modal sosial dalam
membangun satu sistem sekolah yang mengelola diri sendiri (self-managing school). Membangun modal intelektual merupakan
contoh pengembangan kapasitas, yang dibahas lebih rinci pada proposisi 11.
Modal sosial merujuk pada membangun hubungan yang saling mendukung di antara
sekolah, rumah, masyarakat, lembaga keagamaan, dunia usaha dan industri, dan
lembaga lain di sektor publik dan swasta.
Pengalaman
menunjukkan bahwa, batapapun kuatnya kehendak strategis, diperluan waktu
betahun-tahun agar pergeseran dalam keseimbangan antara sentralisasi dan
desentralisasi memungkinkan desentralisasi berdampak pada keluaran. Ini
merupakan pengesahan satu legislasi untuk pergeseran kewenangan, otoritas,
tanggung jawab, dan pengaruh dari satu tingkat ke tingkat lain pergeseran itu
merupakan perubahan dalam struktur. Pergeseran lain adalah membangun kapasitas
agar diperoleh dampak yang diharapkan dari belajar dan mengubah kultur di semua
tingkat.
Satu
implikasi penting adalah, pemimpin sekolah harus memastikan bahwa dia dan
koleganya memperbarui pengetahuan tentang praktik yang baik dalam peningkatan
sekolah, dan bahwa membangun modal sosial dan intelektual merupakan inti
pekerjaan pemimpin senior di sekolah.
Dalam
praktik penerapannya di Amerika Serikat ada indikasi bahwa banyak kelemahan MBS
dikarenakan penerapannya yang tidak komprehensif; artinya MBS diterapkan
sepotong-sepotong. Para anggota dewan sekolah biasanya dikendalikan oleh kepala
sekolah, sedangkan pihak-pihak lain tidak banyak berperan. Pola lama di mana
administrator pendidikan menetapkan kebijakan, guru mengajar, dan orang tua
mendukung tampaknya masih dipertahankan. Pola yang tertanam kuat ini sukar
ditanggulangi. Apabila para anggota dewan tidak disiapkan dengan baik, mereka
seringkali sangat bingung dan cemas untuk mengemban tanggung jawabnya yang
baru.
Ada
juga Tim MBS hanya berkonsentrasi pada hal-hal di luar kegiatan pembelajaran.
Pengamatan penerapan MBS menunjukkan bahwa dewan sekolah cenderung memusatkan
perhatian pada kegiatan-kegiatan-kegiatan seperti penghargaan dan pendisiplinan
murid ketimbang pada pengajaran dan kurikulum. Selain itu, ada pula indikasi
bahwa MBS membuat kepala sekolah menjadi lebih berminat dengan hal-hal teknis
administratif dengan mengorbankan aspek pembelajaran. Dengan kata lain, peran
kepemimpinan pendidikannya diabaikan.
Namun,
kekurang pedulian terhadap proses pembelajaran di dalam kelas bukanlah penyakit
bawaan MBS. Tim MBS tidak dapat dipersalahkan karena tidak berhasil mendongkrak
skor tes murid jika mereka tidak mendapat kewenangan untuk melakukan hal itu.
Misalnya, pengamatan di Chicago menunjukkan bahwa wewenang pendidikan sebagian
besar telah didelegasikan kepada orang tua dan anggota masyarakat lainnya.
Selain itu, tidaklah fair untuk mengharapkan adanya dampak atas suatu reformasi
pendidikan di daerah pinggiran kota besar yang telah porak-poranda oleh
seringnya terjadi kasus-kasus kebrutalan, kejahatan, dan kemiskinan.
2.9 Upaya agar Manajemen berbasis sekolah (MBS)Meningkatkan
Prestasi Belajar
MBS
tidak boleh dinyatakan gagal sebelum memperoleh kesempatan yang adil untuk
diterapkan. Banyak program yang tidak berkonsentrasi pada prestasi pendidikan,
dan banyak pula yang merupakan variasi dari model hierarkis tradisional
ketimbang penataan ulang wewenang pengambilan keputusan secara aktual.
Pengalaman penerapan di negara lain menunjukkan bahwa daerah yang benar-benar
mendelegasikan wewenang secara substansial kepada sekolah cenderung memiliki pimpinan
yang mendukung eksperimentasi dan yang memberdayakan pihak lain.
Ada indikasi bahwa pembaruan yang berhasil
juga mengharuskan adanya jaringan komunikasi, komitmen finansial terhadap
pertumbuhan profesional, dukungan dari semua komponan komunitas sekolah. Selain
itu, pihak yang terlibat harus benar-benar mau dan siap memikul peran dan
tanggung jawab baru. Para guru harus disiapkan memikul tanggung jawab dan
menerima kewenangan untuk berinisiatif meningkatkan pembelajaran dan
bertanggung jawab atas kinerja mereka.
Penerapan
MBS yang efektif seyogyanya dapat mendorong kinerja kepala sekolah dan guru
yang pada gilirannya akan meningkatkan prestasi murid. Oleh sebab itu, harus
ada keyakinan bahwa MBS memang benar-benar akan berkontribusi bagi peningkatan
prestasi murid. Ukuran prestasi harus ditetapkan multidimensional, jadi bukan
hanya pada dimensi prestasi akademik. Dengan taruhan seperti itu, daerah-daerah
yang hanya menerapkan MBS sebagai mode akan memiliki peluang yang kecil untuk
berhasil.
Pertanyaannya,
sudahkan daerah siap melaksanakan MBS? Penulis khawatir tidak banyak daerah di
Indonesia yang benar-benar siap menerapkan MBS. Masih terlalu banyak hambatan
yang harus ditanggulangi sebelum benar-benar menetapkan MBS sebagai model untuk
melakukan perubahan.
Manajemen
berbasis sekolah telah menimbulkan perdebatan karena berbagai kekuatan
pendorong telah membentuk kebijakan, dan kekuatan-kekuatan ini telah tercermin
atau diduga mencerminkan preferensi politik atau orientasi ideologi. Manajemen
berbasis sekolah yang digerakkan oleh kepedulian terhadap pemberdayaan
masyarakat dan peningkatan profesi sering diasosiasikan dengan pemerintahan
Pusat.
Manajemen berbasis sekolah telah digerakkan
oleh kepentingan untuk memberikan kebebasan yang lebih besar atau lebih banyak
diferensiasi sering diasosiasikan dengan pemerintahan Daerah, manajemen berbasis
sekolah yang telah digerakkan, dimana manajemen berbasis sekolah sering
dipandang sebagai manifestasi dari upaya menciptakan satu pasar di antara
sekolah dalam sistem pendidikan umum.
Manajemen
berbasis sekolah sering menimbulkan perdebatan pada tahap-tahap awal
pengadopsian, tetapi ia terus diterima setelah beberapa waktu, sedemikian rupa
sehingga hanya sedikit pemangku kepentingan ingin kembali pada pendekatan yang lebih
sentralistik dalam mengelola sekolah.
Akan
tetapi ada pengecualian penting, terutama mengenai kasus di Hong Kong – Cina. School Management Initiative (SMI)
merupakan inisitatif manajemen berbasis sekolah mulai awal 1990-an. Tetapi
pelaksanaannya lambat, terutama pada sektor yang dibantu, dimana banyak orang
berpendapat bahwa SMI menghambat ketimbang memberdayakan. Leung (2003)
menyimpulkan bahwa “tujuan reformasi desentralisasi oleh pemerintah adalah
memperkuat kendali dan memastikan mutu pendidikan melalui teknik-teknik
manajemen. Yaitu bahwa ‘mutu’ diartikan dalam hal penggunaan sumber daya yang
lebih efisien, asesmen keluaran (outcome), indikator kinerja, dan
evaluasi eksternal. Bukan pembagian kewenangan ataupun pemberdayaan stakeholder menjadi tujuan”. Reformasi
tetap menjadi perdebatan di Hong Kong.
Dalam
analisis terakhir, meskipun ada kekuatan pendorong yang lain, kriteria kritis
untuk menilai efektivitas reformasi yang mencakup manajemen berbasis sekolah
adalah sejauh mana manajemen berbasis sekolah mengarah pada atau berhubungan
dengan pencapaian hasil belajar yang membaik, termasuk prestasi siswa ke
tingkat yang lebih tinggi, bagaimana pun mengukurnya.
Belakangan
banyak terjadi perubahan dalam pandangan bahwa tujuan utama manajemen berbasis
sekolah adalah peningkatan hasil pembelajaran, dan untuk alasan inilah,
kebanyakan pemerintahan memasukkan manajemen berbasis sekolah dalam kebijakan
bagi reformasi pendidikan.
Satu
implikasi penting adalah bahwa pemimpin sekolah harus memastikan bahwa perhatian
masyarakat sekolah (termasuk tenaga kependidikan) tidak hentinya difokuskan
pada hasil belajar siswa, dan ini harus menjadi kepedulian utama meskipun makna
manajemen berbasis sekolah sangat sering menimbulkan perdebatan.
Para
pengeritik sering mengutip temuan ini. Akan tetapi banyak dari penelitian
terdahulu hanya mengambil informasi atau opini dari sistem dimana dampak dari
keluaran tidak pernah menjadi tujaun utama, atau bahkan tujuan kedua.
Hal
ini terutama berlaku bila manajemen berbasis sekolah diimplementasikan sebagai
satu strategi untuk membongkar birokrasi pusat yang besar, mahal, dan tidak
responsif atau sebagai satu strategi untuk memberdayakan masyarakat dan
profesional. Bahkan ketika dampak atas keluaran menjadi tujuan utama, sulit
menarik kesimpulan terhadap dampak karena database tentang prestasi siswa
lemah.
Satu
telaah terhadap penelitian (Caldwell, 2002) menunjukkan bahwa telah ada tiga
generasi studi, dan justeru pada studi generasi ketiga bahwa bukti dampak pada
hasil ditemukan, tetapi hanya bila kondisi-kondisi tertentu dipenuhi. Generasi
pertama adalah saat di mana dampak atas hasil tidak menjadi tujuan utama atau
kedua. Generasi kedua adalah ketika dampak menjadi tujuan utama atau kedua
tetapi database lemah. Ketiga, muncul pada akhir 1990-an dan dengan
mengumpulnya momentum awal 2000-an, yang berbarengan dengan kepedulian terhadap
hasil belajar dan pengembangan database yang kuat.
Satu
implikasi penting adalah, para pemimpin sekolah harus sadar bahwa
manajemen-diri tidaklah selalu berdampak pada hasil belajar siswa dan mereka
harus melakukan setiap upaya untuk menjamin bahwa ada mekanisme untuk
menghubungkan manajemen dengan beberapa area dalam pelaksanaan sekolah.
Hasil
penelitian tentang dampak penerapan MBS terhadap mutu pendidikan ternyata
sangat bervariasi. Ada penelitian yang menyatakan negatif. Ada yang
kosong-kosong. Ada pula yang positif.
Penelitian
yang dilakukan oleh Leithwood dan Menzies (1998a) dengan 83 studi empirikal
tentang MBS menyatakan bahwa penerapan MBS terhadap mutu pendidikan ternyata
negatif, “there is virtually no firm”.
Fullan (1993) juga menyatakan kesimpulan yang kurang lebih sama. “There is also no doubt that evidence of a
direct cause-and-effect relationship between self-management and improved
outcomes is minimal”. Tidak diragukan lagi bahwa hubungan sebab akibat
hubungan antara MBS dengan peningkatan mutu hasil pendidikan adalah minimal.
Hal ini dapat dimengerti karena penerapan MBS tidak secara langsung terkait
dengan kejadian di ruang kelas.
Sebaliknya,
Gaziel (1998) menyimpulkan hasil penelitian di sekolah-sekolah Esrael bahwa ”greater school autonomy has a positive
impact on teacher motivation and commitment and on the school’s achievement”.
Pemberian
otonomi yang lebih besar kepada sekolah telah mempunyai dampak positif terhadap
motivasi dan komitmen guru dan terhadap keberhasilan sekolah. Hasil penelitan
William (1997) di Kerajaan Inggris dan New Zealand menunjukkan bahwa “the increase decision-making power of
principals has allowed them to introduce innovative programs and practices”.
Peningkatan kemampuan kepala sekolah dalam pengambilan keputusan telah membuat
memperkenalkan program dan praktik (penyelenggaraan pendidikan) yang inovatif.
Geoff Spring, arsitek reformasi di Australia Selatan dan Victoria menyatakan
bahwa “school-based management has led to
higher student achievement” De Grouwe (1999).
Hal
yang menggembirakan juga dinyatakan oleh King dan Ozler (1998) menyatakan bahwa
“enhanced community and parental
involvement in EDUCO schools has improved students language skills and diminished absenteeism”. Jemenez dan Sawada
(1998) menyimpulkan bahwa pelibatan masyarakat dan orangtua siswa mempunyai
dampak jangka panjang dalam peningkatan hasil belajar.
2.10
Strategi
peningkatan mutu pendidikan melalui Manajemen
berbasis sekolah (MBS)
Konsep MBS merupakan kebijakan baru yang sejalan
dengan paradigma desentraliasi dalam pemerintahan. Strategi apa yang diharapkan
agar penerapan MBS dapat benar-benar meningkatkan mutu pendidikan. Salah satu
strategi adalah menciptakan prakondisi yang kondusif untuk dapat menerapkan
MBS, yakni:
a.
Peningkatan
kapasitas dan komitmen seluruh warga sekolah, termasuk masyarakat dan orangtua
siswa. Upaya untuk memperkuat peran kepala sekolah harus menjadi kebijakan yang
mengiringi penerapan kebijakan MBS. ”An
essential point is that schools and teachers will need capacity building if
school-based management is to work”. Demikian De grouwe menegaskan.
b.
Membangun
budaya sekolah (school culture) yang demokratis, transparan, dan akuntabel.
Termasuk membiasakan sekolah untuk membuat laporan pertanggungjawaban kepada
masyarakat. Model memajangkan RAPBS di papan pengumuman sekolah yang dilakukan
oleh Managing Basic Education (MBE)
merupakan tahap awal yang sangat positif. Juga membuat laporan secara
insidental berupa booklet, leaflet, atau poster tentang rencana kegiatan
sekolah. Alangkah serasinya jika kepala sekolah dan ketua Komite Sekolah dapat
tampil bersama dalam media tersebut.
c.
Pemerintah
pusat lebih memainkan peran monitoring dan evaluasi. Dengan kata lain,
pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu melakukan kegiatan bersama dalam
rangka monitoring dan evaluasi pelaksanaan MBS di sekolah, termasuk pelaksanaan
block grant yang diterima sekolah.
d.
Mengembangkan
model program pemberdayaan sekolah. Bukan hanya sekedar melakukan pelatihan
MBS, yang lebih banyak dipenuhi dengan pemberian informasi kepada sekolah.
Model pemberdayaan sekolah berupa pendampingan atau fasilitasi dinilai lebih
memberikan hasil yang lebih nyata dibandingkan dengan pola-pola lama berupa
penataran MBS.
Kepemimpinan kepala sekolah yang efektif dalam MBS dapat dilihat
berdasarkan kriteria berikut:
1.
Mampu memberdayakan
guru-guru untuk melaksanakan proses pembelajaran dengan baik, lancar, dan
produktif.
2.
Dapat menyelesaikan tugas
dan pekerjaan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan.
3.
Mampu menjalin hubungan yang
harmonis dengan masyarakat sehingga dapat melibatkan mereka secara aktif dalam rangka
mewujudkan tujuan sekolah dan pendidikan.
4.
Berhasil menerapkan prinsip
kepemimpinan yang sesuai dengan tingkat kedewasaan guru dan pegawai lain
disekolah.
5.
Bekerja dengan tim manajemen
6.
Berhasil mewujudkan tujuan
sekolah secara produktif sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
2.11
Hambatan-hambatan
dalam Manajemen berbasis sekolah (MBS)
Beberapa
hambatan yang mungkin dihadapi pihak-pihak berkepentingan dalam penerapan Manajemen
berbasis sekolah (MBS) adalah sebagai berikut :
a.
Tidak Berminat Untuk Terlibat
Sebagian
orang tidak menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang sekarang mereka
lakukan. Mereka tidak berminat untuk ikut serta dalam kegiatan yang menurut
mereka hanya menambah beban. Anggota dewan sekolah harus lebih banyak menggunakan
waktunya dalam hal-hal yang menyangkut perencanaan dan anggaran. Akibatnya
kepala sekolah dan guru tidak memiliki banyak waktu lagi yang tersisa untuk
memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Tidak semua guru akan
berminat dalam proses penyusunan anggaran atau tidak ingin menyediakan waktunya
untuk urusan itu.
b.
Tidak Efisien
Pengambilan
keputusan yang dilakukan secara partisipatif adakalanya menimbulkan frustrasi
dan seringkali lebih lamban dibandingkan dengan cara-cara yang otokratis. Para
anggota dewan sekolah harus dapat bekerja sama dan memusatkan perhatian pada
tugas, bukan pada hal-hal lain di luar itu.
c.
Pikiran Kelompok
Setelah
beberapa saat bersama, para anggota dewan sekolah kemungkinan besar akan
semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak positif karena mereka akan
saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu menyebabkan
anggota terlalu kompromis hanya karena tidak merasa enak berlainan pendapat
dengan anggota lainnya. Pada saat inilah dewan sekolah mulai terjangkit
“pikiran kelompok.” Ini berbahaya karena keputusan yang diambil kemungkinan
besar tidak lagi realistis.
d.
Memerlukan Pelatihan
Pihak-pihak
yang berkepentingan kemungkinan besar sama sekali tidak atau belum
berpengalaman menerapkan model yang rumit dan partisipatif ini. Mereka
kemungkinan besar tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang hakikat Manajemen
berbasis sekolah (MBS) sebenarnya dan bagaimana cara
kerjanya, pengambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya.
e.
Kebingungan Atas Peran dan Tanggung
Jawab Baru
Pihak-pihak
yang terlibat kemungkinan besar telah sangat terkondisi dengan iklim kerja yang
selama ini mereka geluti. Penerapan Manajemen berbasis sekolah
(MBS) mengubah peran dan tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan.
Perubahan yang mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan kejutan dan
kebingungan sehingga mereka ragu untuk memikul tanggung jawab pengambilan
keputusan.
f.
Kesulitan Koordinasi
Setiap
penerapan model yang rumit dan mencakup kegiatan yang beragam mengharuskan
adanya koordinasi yang efektif dan efisien. Tanpa itu, kegiatan yang beragam
akan berjalan sendiri ke tujuannya masing-masing yang kemungkinan besar sama
sekali menjauh dari tujuan sekolah.
Apabila
pihak-pihak yang berkepentingan telah dilibatkan sejak awal, mereka dapat
memastikan bahwa setiap hambatan telah ditangani sebelum penerapan MBS. Dua
unsur penting adalah pelatihan yang cukup tentang MBS dan klarifikasi peran dan
tanggung jawab serta hasil yang diharapkan kepada semua pihak yang
berkepentingan. Selain itu, semua yang terlibat harus memahami apa saja
tanggung jawab pengambilan keputusan yang dapat dibagi, oleh siapa, dan pada
level mana dalam organisasi.
Anggota
masyarakat sekolah harus menyadari bahwa adakalanya harapan yang dibebankan
kepada sekolah terlalu tinggi. Pengalaman penerapannya di tempat lain
menunjukkan bahwa daerah yang paling berhasil menerapkan Manajemen
berbasis sekolah (MBS) telah memfokuskan harapan mereka
pada dua maslahat: meningkatkan keterlibatan dalam pengambilan keputusan dan
menghasilkan keputusan lebih baik.
2.12
Keuntungan
dan manfaat dari Manajemen
berbasis sekolah (MBS)
Kewenangan
yang bertumpu pada sekolah merupakan inti dari Manajemen berbasis sekolah
(MBS) yang dipandang memiliki tingkat efektivitas tinggi serta memberikan
beberapa keuntungan berikut:
a.
Kebijaksanaan dan kewenangan sekolah
membawa pengaruh langsung kepada peserta didik, orang tua, dan guru.
b.
Bertujuan bagaimana memanfaatkan sumber
daya lokal.
c.
Efektif dalam melakukan pembinaan
peserta didik seperti kehadiran, hasil belajar, tingkat pengulangan, tingkat
putus sekolah, moral guru, dan iklim sekolah.
d.
Adanya
perhatian bersama untuk mengambil keputusan, memberdayakan guru, manajemen
sekolah, rancangan ulang sekolah, dan perubahan perencanaan.
Adapun manfaat yang diperoleh dari manajemen berbasis sekolah
(MBS) adalah :
a.
Dengan kondisi setempat,
sekolah dapat meningkatkan kesejahteraan guru sehingga dapat lebih
berkonsentrasi pada tugasnya;
b.
Keleluasaan dalam mengelola
sumberdaya dan dalam menyertakan masyarakat untuk berpartisipasi, mendorong
profesionalisme kepala sekolah, dalam peranannya sebagai manajer maupun
pemimpin sekolah;
c.
Guru didorong untuk
berinovasi;
d.
Rasa tanggap sekolah
terhadap kebutuhan setempat meningkat dan menjamin layanan pendidikan sesuai
dengan tuntutan masyarakat sekolah dan peserta didik.
2.13
Kepemimpinan dalam menejemen berbasis sekolah (MBS)
1. Pengertian
a. Menurut Sutisna, kepemimpinan adalah
proses mempengaruhi kegiatan seseorang atau kelompok dalam usaha ke arah
pencapaian tujuan dalam situasi tertentu.
b. Menurut Soepardi, kepemimpinan
adalah kemampuan untuk menggerakkan, mempengaruhi, memotivasi, mengajak,
mengarahkan, menasehati, membimbing, menyuruh, memerintah, melarang, dan bahkan
menghukum (kalau perlu) serta membina dengan maksud agar manusia sebagai media
manajemen mau bekerja dalam rangka mencapai tujuan administrasi secara efektif
dan efisien.
2. Gaya Kepemimpinan
Adalah cara yang digunakan pemimpin
dalam mempengaruhi para pengikutnya. Thoha mengartikan sebagai norma perilaku
yang digunakan seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku
orang lain seperti yang ia lihat.
a. Pendekatan Sifat
Menurut
Sutisna, pada pendekatan terdapat sifat-sifat tertentu, seperti kekuatan fisik
atau keramahan yang esensil pada kepemimpinan yang efektif. Pendekatan ini
menyarankan beberapa syarat yang harus dimiliki pemimpin yaitu : (a) kekuatan
fisik dan susunan syaraf; (b) penghayatan terhadap arah dan tujuan; (c) antusiasme;
(d) keramah tamahan; (e) integritas; (f) keahlian teknis; (g) kemampuan
mengambil keputusan; (h) inteligensi; (i) keterampilan memimpin; (j)
ketrampilan memimpin; (k) kepercayaan. Namun sayangnya, pendekatan ini tidak
mampu menjawab pertanyaan di sekitar kepemimpinan.
b. Pendekatan Perilaku
1. Studi Kepemimpinan Universitas OHIO
Ada 2 dimensi utama dari perilaku
pemimpin, yaitu pembuatan inisiatif (initiating
structure) dan perhatian (consideration).
Inisiatif, artinya pemimpin memberi batasan dan struktur terhadap peranannya
dan peran bawahannya untuk mencapai tujuan. Konsiderasi, diartikan derajat dan
corak hubungan seorang pemimpin dengan bawahannya yang ditandai saling percaya,
menghargai dan menghormati dengan bawahannya. Kombinasi 2 dimensi tersebut akan
menghasilkan 4 gaya kepemimpinan.
2. Studi Kepemimpinan Universitas
Michigan
Hersey & Blanchard
mengidentifikasi dua konsep, yaitu bawahan dan produksi. Pemimpin yang
menekankan pada orientasi bawahan menganggap setiap karyawan penting dan
menerimanya sebagai pribadi. Sedangkan pemimpin yang menekankan pada orientasi
produksi dan aspek kerja, bawahan dianggap sebagai alat untuk mencapai tujuan
organisasi. Ini sama dengan tipe otoriter (task)
dan demokrasi (relationship).
3. Jaringan Manajemen (Managerial Grid)
Dikembangkan oleh Blake &
Mouton, menurut mereka manajemen berhubungan dengan 2 hal, yaitu (a) perhatian
menekankan pada produksi / tugas : menekankan mutu pelayanan staf, efisiensi
kerja, dan jumlah pengeluaran ; (b) perhatian pada orang – orang : memperlihatkan
keterlibatan anak buah untuk mencapai tujuan (aspek yang menyangkut harga diri
anak buah, tanggung jawab berdasarkan kepercayaan, suasana kerja yang
menyenangkan, dan hubungan yang harmonis).
4. Sistem Kepemimpinan Likert
Ia mengembangkan teori kepemimpinan
dua dimensi, yaitu orientasi tugas dan individu. Ia merancang 4 sistem
kepemimpinan sebagai berikut :
a) Sistem 1 : sangat otokratis
→kepercayaan pada bawahan sedikit, suka mengeksploitasi bawahan, bersikap
paternalistic, memotivasi dengan ketakutan dan hukuman, penghargaan diberikan
secara kebetulan (occasional rewards),
komunikasi turun ke bawah serta membatasi pengambilan keputusan di tingkat
atas.
b) Sistem 2 : otokratis baik hati (Benevolent Authoritative) → kepercayaan
terselubung, percaya pada bawahan, mau memotivasi dengan hadiah dan ketakutan
berikut hukuman, membolehkan adanya komunikasi ke atas, mendengarkan pendapat /
ide dari bawahan, dan membolehkan delegasi wewenang dalam proses keputusan.
c) Sistem 3 : Manajer konsultatif →
sedikit kepercayaan pada bawahan, mau melakukan motivasi dengan penghargaan dan
hukumanyang kebetulan dan berkehendak melakukan partisipasi, hubungan
komunikasi ke atas dan ke bawah, membuat keputusan dan kebijakan yang luas pada
tingkat atas, tetapi keputusan mengkhususkan pada tingkat bawah.
d) Sistem 4 : Partisipatif (Partisipative Group) → kepercayaan yang
sempurna terhadap bawahan, mengandalkan bawahan untuk mendapatkan ide /
pendapat serta mempunyai niat untuk menggunakan pendapat bawahan secara
konstruktif, penghargaan bersifat ekonomis berdasarkan partisipasi kelompok dan
keterlibatannya pada setiap urusan, mendorong untuk ikut tanggung jawab buat
keputusan dan melaksanakan keputusan dengan tanggung jawab yang benar.
c. Pendekatan Situasional
Teori Kepemimpinan Kontingensi
Menurut
Fiedler & Chemers, menjadi pemimpin bukan karena faktor kepribadian tetapi
karena berbagai faktor situasi (saling berhubungan antara pemimpin dengan
situasi). Tiga faktor yang harus diperhatikan yaitu hubungan antara pemimpin
dengan bawahan, struktur tugas, dan kekuasaan yang berasal dari organisasi. Dua
jenis gaya kepemimpinan dan dua tingkat yang menyenangkan adalah mengutamakan
tugas dan hubungan kemanusiaan.
Teori Kepemimpinan Tiga Dimensi
(Reddin, dari Universitas New Brunswick, Canada)
Menurutnya
ada 3 dimensi yang dipakai untuk menentukan gaya kepemimpinan, yaitu perhatian
pada produksi/tugas, perhatian pada orang, dimensi efektifitas. Ini sama dengan
jaringan manajemen yang memiliki 4 dasar kepemimpinan yaitu integrated, related,
separated, dan dedicated. Apabila dilihat dari segi efektif dan tidak efektif
akan menjadi 7 gaya kepemimpinan, yaitu :
·
Gaya
integrated, dikembangkan secara efektif → Gaya eksekutif.
·
Gaya
integrated, dikembangkan tidak efektif → Gaya compromiser.
·
Gaya
separated, dikembangkan secara efektif → Gaya bureaucrat.
·
Gaya
separated, dikembangkan tidak efektif → Gaya deserter.
·
Gaya
dedicated, dikembangkan secara efektif → Gaya benevolent authocrat.
·
Gaya
related, dikembangkan secara efektif → Gaya developer.
·
Gaya
related, dikembangkan tidak efektif → Gaya missionary.
Yang
termasuk gaya efektif yaitu (a) executive
: perhatian pada tugas maupun hubungan kerja dalam kelompok; (b) developer : perhatian tinggi terhadap
hubungan kerja dalam kelompok dan perhatian minim terhadap tugas dan pekerjaan;
(c) benevolent authocrat : perhatian
tinggi terhadap tugas dan rendah dalam hubungan kerja; (d) birokrat : perhatian rendah terhadap tugas maupun hubungan.
Sedangkan gaya tidak efektif yaitu (a) compromiser
: perhatian tinggi pada tugas maupun hubungan kerja; (b) missionary : perhatian tinggi pada hubungan kerja dan rendah pada
tugas; (c) autocrat : perhatian
tinggi pada tugas dan rendah pada hubungan; (d) deserter perhatian rendah pada tugas dan hubungan kerja.
Teori Kepemimpinan Situasional
Teori
ini di dasarkan pada hubungan 3 faktor, yaitu perilaku tugas (Task behavior) yang merupakan pemberian
petunjuk, perilaku hubungan (Relationship
behavior) adalah ajakan melalui komunikasi zarah, serta kematangan (Maturity) yang merupakan kemampuan dan
kemauan anak buah dalam mempertanggung jawabkan. Kematangan (maturity) merupakan factor dominan.
Menurut
teori ini, gaya yang tepat untuk diterapkan adalah : (a) Gaya mendikte (Telling) : diterapkan pada anak buah
dengan tingkat kematangan rendah; (b) Menjual (Selling) : diterapkan pada anak buah taraf rendah hingga moderat;
(c) Melibatkan diri (Participating) :
diterapakan pada anak buah moderat hingga tinggi; (d) Mendelegasikan (Delegating) : diterapkan pada anak buah
yang memiliki kemampuan dan kemauan tinggi.
3. Kepemimpinan Dalam Peningkatan
Kinerja
a. Pembinaan disiplin (self-disipline)
Disiplin
merupakan sesuatu yang penting untuk menanamkan rasa hormatterhadap kewenangan,
menanamkan kerja sama dan merupakan kebutuhan untuk berorganisasi serta untuk
menanamkan rasa hormat terhadap orang lain. Soelaeman mengemukakan bahwa
pemimpin berfungsi sebagai pengemban ketertiban yang patut diteladani, tetapi
tidak di harapkan sikap yang otooriter. Taylor dan User, strategi umum membina
disiplin antara lain :
·
Konsep
diri : faktor penting setiap perilaku. Untuk menumbuhkan, pemimpin bersikap
empatik, menerima, hangat dan terbuka sehingga pegawai dapat mengeksplorasi
pikiran dan perasaannya dalam memecahkan masalah.
·
Ketrampilan
berkomunikasi : pemimpin harus menerima semua perasaan pegawai dengan teknik
komunikasi yang dapt menimbulkan kepatuhan dari dalam dirinya.
·
Konsekuensi
logis dan alami.
·
Klarifikasi
nilai : membantu pegawai menjawab pertanyaan sendiri tentang nilai dan
membentuk sistem nilai sendiri.
·
Latihan
keefektifan pemimpin : tujuannya untuk menghilangkan metode represif dan
kekuasaan.
·
Terapi
realitas : pemimpin bersikap positif dan tanggung jawab untuk menerapkan perlu
melihat situasi dan paham faktor yang mempengaruhi.
b. Pembangkitan motivasi
Merupakan
faktor dominan kearah efektivitas kerja. Menurut Maslow, motivasi adalah tenaga
pendorong dari dalam yang menyebabkan manusia berbuat sesuatu atau berusaha
untuk memenuhi kebutuhannya. Ada 2 jenis motivasi menurut Owen, yaitu
instrinsik dan ekstrinsik. Motivasi instrinsik adalah motivasi yang dating dari
dalam diri seseorang, sedangkan ekstrinsik adalah motivasi yang berasal dari
luar diri seseorang. Istilah motivasi sering digunakan secara bergantian dengan
istilah kebutuhan (need), keinginan (want), dorongan (drive), dan gerak hati (impuls).
Berikut ini adalah teori – teori motivasi :
a) Teori Maslow : teori hierarkhi
kebutuhan
Maslow membagi kebutuhan manusia
dalam 5 kategori :
·
Kebutuhan
fisiologis (psysiological needs) :
merupakan kebutuhan paling rendah, memerlukan pemenuhann yang paling mendesak
(contoh: makanan, minuman).
·
Kebutuhan
rasa aman (safety needs) : memperoleh
ketentraman, kepastian dan keteraturan dari keadaan lingkungan (contoh :
pakaian, rumah)
·
Kebutuhan
kasih sayang (belongingness & love
needs) : mengadakan hubungan afektif / ikatan emosional dengan individu
lain, sesame jenis maupun lain jenis.
·
Kebutuhan
akan rasa harga diri (esteem needs) :
penghargaan dari diri sendiri dan dari orang lain.
·
Kebutuhan
akan aktualisasi diri (need for self
actualization) : kebutuhan paling tinggi, akan muncul jika kebutuhan di
bawahnya terpenuhi.
b) Teori Dua Faktor
Dikembangkan
oleh Fredrick Herzberg. Dia berpendapat ada dua factor penting, yaitu hygiene
(lingkungan) dan motivator (pekerjaan itu sendiri). Faktor hygiene bersifat
preventif terhadap ketidakpuasan dan tidak memotivasi karyawan dalam bekerja.
c) Teori Alderter
Alderter
membedakan 3 kelompok kebutuhan, yaitu kebutuhan akan keberadaan (existence), kebutuhan berhubungan (relatedness), dan kebutuhan untuk
bertumbuh (growth need).
d) Teori Prestasi McCelland
McCelland
mengatakan bahwa setiap orang mempunyai keinginan untuk melakukan karya yang
berprestasi / yang lebih baik dari karya orang lain. Ada 3 kebutuhan manusia,
yaitu berprestasi, berafilisasi, dan kekuasaan. Ketiganya merupakan unsur
penting dalam menentukan prestasi seorang pekerja.
e) Teori X dan Teori Y
Dikembangkan
oleh McGregor. Menurutnya, cirri organisasi tradisional pada dasarnya bertolak
dari asumsi mengenai sifat dan motivasi manusia.
Teori
X menganggap sebagian manusia lebih suka di perintah dan tidak tertarik rasa
tanggung jawab, masih bersifat anak – anak, tidak suka bekerja, berkemampuan
kecil untuk mengatasi masalah organisasi, dan hanya butuh motivasi fisiologi.
Oleh karena itu, perlu diawasi secara ketat.
Teori
Y menganggap manusia suka bekerja, dapat mengontrol diri sendiri, dan mempunyai
kemampuan untuk berkreativitas. Oleh karena itu, tidak perlu diawasi ketat.
Kebutuhan
terbagi menjadi dua jenis, primer (fisiologis) dan sekunder (sosio psikologis).
Ada beberapa prinsip untuk memotivasi pegawai untuk meningkatkan kinerja, yaitu
kegiatan yang menarik dan menyenangkan, tujuan kegiatan disusun jelas dan di
informasikan, pegawai juga dilibatkan dalam penyusunan tujuan, pemberitahuan
hasil kerja, pemberian hadiah lebih baik dari hukuman, memanfaatkan sikap,
cita-cita,dan rasa ingin tahu pegawai, memperhatikan perbedaan individual
pegawai, memenuhi kebutuhan dengan memperhatikan kondisi fisik, member rasa
aman, menunjukkan bahwa pemimpin memperhatikan mereka, dan mengatur pengalaman
sedemikian rupa sehingga pegawai memperoleh kepuasaan dan penghargaan.
Castetter
mengemukakan 4 kriteria kinerja yaitu : karakteristik personil (kinerja
meliputi kemampuan, ketrampilan, kepribadian, motivasi), proses (kecocokan
dengan standar kinerja yang telah ditentukan), hasil (hasil nyata kualitas /
kuantitas), serta kombinasi ketiganya. Menurut Mitchell criteria kinerja dalam
Area Performance adalah kualitas kerja, ketepatan, inisiatif, kemampuan, dan
komunikasi. Sedangkan Steers menggunakan 3 faktor untuk menilai kinerja yaitu
kemampuan dan minat pegawai, kejelasan penerimaan atas peranan pegawai, dan
tingkat motivasi pegawai. Kriteria menilai kinerja pegawai dalam MBS antara
lain, pemahaman tentang tugas dan tanggung jawab, kemampuan dan keterampilan,
semangat yang tinggi, serta berinisiatif dan berkemampuan tinggi.
c. Penghargaan (rewards)
Penghargaan
penting untuk meningkatkan kegiatan produktif dan mengurangi kegiatan yang
kurang produktif. Penggunaannya sebaiknya secara efektif dan efisien agar tidak
menimbulkan dampak negatif.
4. Kepemimpinan Kepala Sekolah yang
Efektif Kriteria kepemimpin kepala sekolah yang efektif, kriterianya :
a. Mampu memberdayakan guru untuk
melaksanakan proses pembelajaran yang baik, lancar, dan produktif.
b. Dapat menyelesaikan tugas dan
pekerjaan tepat waktu.
c. Mampu menjalin hubungan yang
harmonis dengan masyarakat, melibatkan masyarakat secara aktif dalam rangka
mewujudkan tujuan sekolah dan pendidikan.
d. Berhasil menerapkan prinsip
kepemimpinan yang sesuai dengan tingkat kedewasaan guru dan pegawai lain di
sekolah.
e. Berhasil mewujudkan tujuan sekolah
secara produktif sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
Menurut
Pidarta, tiga keterampilan yang harus dimiliki oleh kepala sekolah antara lain
keterampilan konseptual (memahami dan mengoperasikan organisasi), ketrampilan
manusiawi (kerja sama, memotivasi dan memimpin), ketrampilan teknik
(menggunakan pengetahuan, metode, teknik, serta perlengkapan untuk
menyelesaikan tugas tertentu). Untuk memiliki ketrampilan konsep, diharapkan melakukan
kegiatan sebagai berikut : senantiasa belajar dari pekerjaan sehari-hari
terutama cara kerja guru dan pegawai sekolah lain, melakukan observasi kegiatan
manajemen secara terencana, membaca berbagai hal yang berkaitan dengan kegiatan
yang sedang dilaksanakan, memanfaatkan hasil penelitian orang lain, berfikir
untuk masa yang akan dating, merumuskan ide yang dapat di uji cobakan,
menerapkan gaya kepemimpinan yang efektif sesuai dengan situasi dan kebutuhan
serta motivasi para guru dan pekerja lain.
2.14
Koordinasi, Komunikasi, dan
Supervisi dalam menejemen
berbasis sekolah
(MBS)
1. Koordinasi dalam MBS
Coordination, berasal dari bahasa latin cum,
artinya berbeda-beda, sedangkan ordinare, artinya penyusunan/penempatan sesuatu
pada keharusannya. Dalam MBS koordinasi berkaitan dengan penempatan berbagai
kegiatan yang berbeda – beda pada keharusan tertentu sesuai aturan yang berlaku
untuk mencapai tujuan dengan sebaik-baiknya melalui proses yang tidak
membosankan. Handayaningrat mengemukakan karakteristik koordinasi sebagai
berikut :
a. Tanggung jawab koordinasi terletak
pada pimpinan
b. Koordinasi adalah kerja sama
c. Koordinasi merupakan proses yang
terus menerus (continue process)
d. Pengaturan usaha kelompok secara
teratur
e. Kesatuan tindakan merupakan inti
koordinasi
f. Tujuan koordinasi adalah tujuan bersama
Ada lima prinsip utama yang harus
diperhatikan agar koordinasi berjalan lancar, antara lain : koordinasi harus
dimulai dari tahap perencanaan awal, menciptakan iklim yang kondusif bagi
kepentingan bersama, koordinasi merupakan proses yang terus menerus dan
berkesinambungan, koordinasi merupakan pertemuan-pertemuan bersama untuk
mencapai tujuan, serta perbedaan pendapat harus diakui sebagai pengayaan dan
harus dikemukakan secara terbuka dan diselidiki dalam kaitannya dengan situasi
secara keseluruhan.
a. Manfaat koordinasi dalam MBS
(1)
Menghilangkan
dan menghindarkan perasaan terpisahkan satu sama lain antara pengawas, kepala
sekolah, guru, dan para petugas/personalia di sekolah.
(2)
Menghindarkan
perasaan / pendapat bahwa dirinya / jabatannya merupakan paling penting.
(3)
Mengurangi/menghindarkan
kemungkinan timbulnya pertentangan antar sekolah/antar pejabat dan pelaksana.
(4)
Menghindarkan
timbulnya rebutan fasilitas.
(5)
Menghindarkan
terjadinya peristiwa menunggu yang memakan waktu lama.
(6)
Menghindarkan
kemungkinan terjadinya kekembaran pekerjaan sesuatu kegiatan oleh sekolah.
(7)
Menghindarkan
kemungkinan terjadinya kekosongan pekerjaan sesuatu program oleh
sekolah/kekosongan pekerjaan tugas oleh kepala sekolah.
(8)
Menumbuhkan
kesadaran kepala sekolah untuk saling memberikan bantuan satu sama lain
terutama bagi mereka yang berada dalam wilayah yang sama.
(9)
Menumbuhkan
kesadaran kepala sekolah untuk saling memberi tahu masalah yang dihadapi
bersama dan bekerja sama dalam memecahkannya.
(10) Memberikan jaminan tentang kesatuan
langkah diantara para kepala sekolah/guru.
(11) Menjamin adanya kesatuan
kebijaksanaan diantara kepala sekolah dalam wilayah tertentu.
(12) Menjamin adanya kesatuan sikap
diantara kepala sekolah.
(13) Manfaat utama koordinasi yaitu,
menumbuhkan sikap egaliter serta meningkatkan rasa kesatuan dan persatuan
diantara kepala sekolah maupun guru dengan tetap menghargai kewajiban dan
wewenang masing-masing.
b. Macam-macam koordinasi
Handayaningrat mengemukakan koordinasi
berdasarkan hubungan antara pejabat yang mengkoordinasi dan pejabat yang
dikoordinasi, sebagai berikut:
1) Koordinasi intern
·
Koordinasi
vertical / structural : antara yang mengkoordinasi dengan yang dikoordinasi
terdapat hubungan hierarkis, satu dengan yang lain berada pada satu garis
komando (line of command).
·
Koordinasi
horizontal, yaitu koordinasi fungsional : kedudukan yang mengkoordinasi dengan
yang dikoordinasi setingkat eselonnya.
·
Koordinasi
diagonal, yaitu koordinasi fungsional : yanh mengkoordinasi mempunyai kedudukan
lebih tinggi eselonnya dibanding yang di koordinasi, tetapi satu sama lain
tidak berada pada satu garis komando.
2) Koordinasi ekstern
Termasuk dalam koordinasi fungsional, bersifat horizontal
dan diagonal. Siagian mengelompokkan koordinasi sebagai berikut : (a)
koordinasi menjadi atasan dengan bawahan yang disebut koordinasi vertical; (b)
koordinasi diantara sesame pejabat yang setingkat dengan instansi; (c)
koordinasi fungsional : koordinasi antar instansi, tiap instansi mempunyai
tugas dan fungsi dalam suatu bidang tertentu.
c. Cara melakukan koordinasi
Sutarto mengungkapkan cara melakukan koordinasi antara lain
dengan : (1) mengadakan pertemuan informal antar pejabat; (2) mengadakan
pertemuan formal antar pejabat; (3) membuat edaran berantai kepada mengadakan
pertemuan informal antar pejabat; pejabat yang d mengadakan pertemuan informal
antar pejabat;iperlukan; (4) menyebar kartu pada pejabat yang diperlukan; (5)
mengangkat koordinator; (6) membuat buku pedoman lembaga, buku pedoman tata
kerja, dan buku pedoman kumpulan peraturan; (7) berhubungan melalui alat
perhubungan / telepon; (8) membuat tanda-tanda; (9) membuat symbol; (10)
membuat kode; (11) bernyanyi bersama.
Hakekatnya koordinasi dilakukan secara formal, yaitu upaya
impersonal dengan membuat peraturan dan mengangkat pejabat, serta secara
informal, yaitu pembicaraan dan konsultasi. Manajemen berbasis sekolah
merupakan pendekatan proses dan pendekatan tugas (koordinasi mencakup seluruh
program pengelolaan terhadap setiap subjek, objek dan bidang garapan sekolah).
2. Komunikasi dalam MBS
a. Komunikasi Intern
1) Dasar, Tujuan, dan Manfaat
·
Dasar
: komunikasi yang baik antara berbagai personil harus dikembangkan untuk
mencapai hasil seoptimal mungkin. Kurang komunikasi akan mengakibatkan
kurangnya hasil yang dapat diwujudkan, bahkan sering gagal mencapai tujuan.
·
Tujuan
: menciptakan kondisi menarik dan hangat, personil dapat bekerja terdorong untuk
berprestasi lebih baik dan mengerjakan tugas mendidik dengan penuh kesadaran.
·
Manfaat
: mudah dalam memecahkan/menyelesaikan masalah dengan bantuan orang (diskusi).
2) Prinsip Komunikasi
Karakteristik hubungan professional antara lain dipengaruhi
“tata karma” professional, terbuka untuk mengemukakan pendapat, keputusan
diambil berdasarkan pertukaran pendapat dan memberikan keputusan yang bersifat
pedoman, bukan sesuatu yang tegas dan praktis. Kepala sekolah perlu
memperhatikan prinsip dibawah ini :
·
Bersikap
terbuka, tidak memaksakan kehendak tetapi bertindak sebagai fasilitator
(demokratis dan kekeluargaan).
·
Mendorong
guru untuk mau dan mampu memecahkan masalah, serta mendorong aktivitas dan
kreativitas guru.
·
Mengembangkan
kebiasaan untuk berdiskusi secara terbuka dan mendidik guru untuk mau mendengar
pendapat orang lain secara objektif
·
Mendorong
untuk mengambil keputusan yang baik dan mentaatinya.
·
Berlaku
sebagai pengarah, pengatur pembicaraan, perantara dan pengambil kesimpulan
secara redaksional.
3)
Memecahkan
Masalah Bersama di Sekolah
·
Kegiatan
pertemuan yang bersifat teratur dan berkala.
·
Guru
bergiliran mengemukakan pendapat.
·
Peningkatan
pengetahuan dan kemampuan professional dengan mengungkapkan pengetahuan yang
diperoleh dengan guru lain (diskusi).
b. Komunikasi Ekstern
1) Hubungan Sekolah dengan Orang Tua
Tujuan
: saling membantu dan saling isi mengisi mengenai bantuan keuangan dan
barang-barang, untuk mencegah perbuatan yang kurang baik, dan bersama-sama
membuat rencana yang baik untuk sang anak.
Cara menjalin hubungan sekolah dengan orang tua :
Cara menjalin hubungan sekolah dengan orang tua :
·
Melalui
dewan sekolah : tujuannya untuk membantu menyukseskan kelancaran proses belajar
mengajar di sekolah baik menyangkut perencanaan, pelaksanaan,dan penilaian.
·
Melalui
BP3 : memberi bantuan penyelenggaraan pendidikan di sekolah (masalah sarana
prasarana penunjang KBM).
·
Melalui
pertemuan penyerahan buku laporan pendidikan : pemberian penjelasan tentang
kegiatan belajar mengajar serta prestasi peserta didik dan kelemahan yang perlu
ditingkatkan.
·
Melalui
ceramah ilmiah : menghadirkan ahli untuk menyampaikan permasalahan dan
pemecahannya dalam forum tersebut.
Hubungan tersebut dapat dilakukan dalam berbagai bidang kehidupan, seperti : (a) proses belajar mengajar : memberi bantuan dan kemudahan belajar kepada peserta didik; (b) bidang pengembangan bakat : pembinaan dan pengembangan bakat agar berkembang optimal; (c) bidang pendidikan mental : untuk menghadapi peserta didik dengan masalah kesulitan belajar karena kondisi yang kacau; (d) bidang kebudayaan : penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar, penanaman cinta terhadap budaya dan produk dalam negeri.
Hubungan tersebut dapat dilakukan dalam berbagai bidang kehidupan, seperti : (a) proses belajar mengajar : memberi bantuan dan kemudahan belajar kepada peserta didik; (b) bidang pengembangan bakat : pembinaan dan pengembangan bakat agar berkembang optimal; (c) bidang pendidikan mental : untuk menghadapi peserta didik dengan masalah kesulitan belajar karena kondisi yang kacau; (d) bidang kebudayaan : penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar, penanaman cinta terhadap budaya dan produk dalam negeri.
2) Hubungan Sekolah dengan masyarakat
Tujuannya
ada 2 dimensi :
·
Kepentingan
sekolah : memelihara kelangsungan hidup sekolah, meningkatkan mutu pendidikan
di sekolah, memperlancar kegiatan belajar mengajar, memperoleh bantuan dan
dukungan dari masyarakat dalam rangka pengembangan dan pelaksanaan program
sekolah.
·
Kebutuhan
sekolah : memajukan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, memperoleh
kemajuan sekolah dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi masyarakat,
menjamin relevansi program sekolah dengan kebutuhan dan perkembangan
masyarakat, memperoleh kembali anggota masyarakat yang terampil dan makin
meningkatkan kemampuannya.
·
Saling
membantu, mengisi dan menggalang bantuan keuangan serta barang
·
Program
kegiatan luar sekolah, waktu libur, pengisi waktu luang.
·
Membantu
pengadaan alat peraga, perpustakaan sekolah, beasiswa / orang tua asuh.
·
Bidang
kerjasama
Ø pendidikan kesenian : pengembangan /
pembinaan bakat seni dengan membentuk perkumpulan kemudian dikembangkan.
Ø pendidikan olahraga : manusia
berkualitas yang dicita-citakan adalah yang sehat jasmani dan rohani.
Ø proses keterampilan : kerjasama
dengan lembaga dan yayasan di masyarakat untuk menekan dana yang dikeluarkan
Ø pendidikan anak berkelainan :
membentuk lembaga penyelenggara sekolah luar biasa / memberi bantuan khusus
bagi anak yang memerlukan.
Hubungan dapat dijalin dengan
melalui dewan sekolah, melalui rapat BP3, melalui rapat bersama, konsultasi,
radio, tv, surat, telepon, pameran sekolah (pameran hasil karya peserta didik,
pementasan,dan mencari dana) , serta melalui ceramah.
3.
Supervisi
dalam MBS
1. Hakikat Supervisi.
Secara etimologi kata super dan visi
mengandung arti melihat dan meninjau dari atas atau memilik dan menilai dari
atas yang dilakukan oleh pihak atasan terhadap aktivitas, kreativitas dan
kinerja bawahan. Istilah yang hampir sama dengan supervisi, yaitu pengawasan.
Pengawasan adalah kegiatan untuk melakukan pengamatan agar pekerjaan dilakukan
sesuai dengan ketentuan. Pemeriksaan maksudnya untuk melihat bagaimana kegiatan
yang dilaksanakan telah mencapai tujuan. Inspeksi itu digunakan untuk
mengetahui kekurangan- kekurangan atau kesalahan yang perlu diperbaiki dalam
suatu pekerjaan. Dalam MBS, supervise ditekankan pada pembinaan dan peningkatan
kemampuan serta kinerja tenaga kependidikan di sekolah dalam melaksanakan
tugas. Dalam Carter Good’s dictionary of
Education (dalam Mulyasa,2009:155), supervisi adalah segala usaha pejabat
sekolah dalam memimpin guru-guru dan tenaga kependidikan lainnya untuk
memperbaiki pengajaran, termasuk menstimulasi, menyeleksi pertumbuhan dan
perkembangan jabatan guru-guru, menyeleksi dan merevisi tujuan –tujuan
pendidikan, bahan pengajaran dan metode-metode mengajar serta evaluasi
pengajaran. Sutisna mendeskripsikan
supervise sebagai bantuan dalam pengembangan situasi belajar mengajar yang
lebih baik. Supervisi adalah suatu kegiatan pembelajaran yang disediakan untuk
membantu para guru dalam menjalankan pekerjaan agar lebih baik. Menurut Wiles,
supervisi yang baik hendaknya mengembangkan kepemimpinan dalam kelompok,
membangun program satu tahun dalam jabatan untuk meningkatkan keterampilan dan
kemampuan guru dalam menilai hasil pekerjaannya. Sahertian mengartikan supervise sebagai usaha mengawali,
mengarahkan, menkoordinasi dan membimbing secara kontinu pertumbuhan guru baik
secara individual maupun secara kolektif, agar lebih mengerti dan lebih efektif
dalam mewujudkan seluruh fungsi pengajaran sehingga dapat menstimulasi dan
membimbing pertumbuhan tiap murid secara kontinyu sehingga dapat lebih cepat
berpartisipasi dalam masyarakat demokrasi modern.
2. Tujuan dan Fungsi
Tujuan supervisi adalah membantu dan memberikan
kemudahan kepada para guru untuk belajar bagaimana meningkatkan kemampuan
mereka guna mewujudkan tujuan belajar peserta didik. Sementara Ametembun
mengungkapkan bahwa tujuan supervisi adalah :
o
Membina
kepala sekolah dan guru-guru untuk lebih memahami tujuan pendidikan yang
sebenarnya dan peranan sekolah dalam merealisasikan tujuan tersebut.
o
Memperbesar
kesanggupan kepala sekolah dan guru untuk mempersiapkan peserta didik menjadi
anggota masyarakat yang lebih efektif.
o
Membantu
kepala sekolah dan guru mengadakan diagnosis secara kritis terhadap
aktivitas-aktivitasnya dan kesulitan-kesulitan belajar mengajar serta menolong
mereka merencanakan perbaikan.
o
Meningkatkan
kesadaran kepala sekolah dan guru serta warga sekolah lain terhadap cara kerja
yang demokratis dan komprehensif serta memperbesar kesediaan untuk tolong
menolong.
o
Memperbesar
semangat guru-guru dan meningkatkan motivasi berprestasi untuk mengoptimalkan
kinerja secara maksimal dalam profesinya,
o
Membantu
kepala sekolah untuk mempopulerkan pengembangan program pendidikan disekolah
kepada masyarakat.
o
Melindungi
orang-orang yang disupervisi terhadap tuntutan-tuntutan yang tidak wajar dan
kritik-kritik yang tidak sehat dari masyarakat.
o
Membantu
kepala sekolah dan guru dalam mengevaluasi aktivitasnya untuk mengembangkan
aktivitas dan kreativitas peserta didik.
o
Mengembangkan
Rasa persatuan dan kesatuan (kolegiatas) di antara guru.
Setiap supervisor pendidikan harus memahami dan mampu melaksanakan supervise sesuai fungsi dan tugas pokoknya baik yang menyangkut penelitian, penilaian, perbaikan maupun pengembangan. Penelitian merupakan kegiatan untuk memperoleh gambaran yang jelas dan objektif tentang situasi pendidikan yang akhirnya diperoleh data dan info sebagai dasar untuk menganalisis, hasil analisisnya dan kesimpulan digunakan sebagai bahan pertimbangan. Penilaian adalah tindak lanjut untuk mengetahui hasil penelitian lebih jauh, untuk mengetahui factor-faktor yang mempengaruhi situasi pendidikan dan pengajaran yang telah diteliti sebelumnya. Perbaikan merupakan hasil penilaian dan penelitian. Tugas supervisor dalam hal ini adalah mencari jalan pemecahan, mengarahkan perbaikan, meningkatkan keadaan, dan melakukan penyempurnaan. Pengembangan adalah upaya untuk senantiasa mempertahankan dan meningkatkan kondisi yang sudah baik yang ditemukan dari hasil penelitian dan penilaian dengan memelihara, menjaga, dan meningkatkan hasil-hasil yang telah dicapai supaya kondisi dan situasi tersebut tidak mengalami penurunan, tetapi akan lebih baik dan meningkat, baik secara secara kuantitas maupun kualitas pelaksanaan secara simultan, konsisten, dan kontinyu. Gwyn (dalam Mulyasa,2009:159) merumuskan 10 tugas utama supervisor:
Setiap supervisor pendidikan harus memahami dan mampu melaksanakan supervise sesuai fungsi dan tugas pokoknya baik yang menyangkut penelitian, penilaian, perbaikan maupun pengembangan. Penelitian merupakan kegiatan untuk memperoleh gambaran yang jelas dan objektif tentang situasi pendidikan yang akhirnya diperoleh data dan info sebagai dasar untuk menganalisis, hasil analisisnya dan kesimpulan digunakan sebagai bahan pertimbangan. Penilaian adalah tindak lanjut untuk mengetahui hasil penelitian lebih jauh, untuk mengetahui factor-faktor yang mempengaruhi situasi pendidikan dan pengajaran yang telah diteliti sebelumnya. Perbaikan merupakan hasil penilaian dan penelitian. Tugas supervisor dalam hal ini adalah mencari jalan pemecahan, mengarahkan perbaikan, meningkatkan keadaan, dan melakukan penyempurnaan. Pengembangan adalah upaya untuk senantiasa mempertahankan dan meningkatkan kondisi yang sudah baik yang ditemukan dari hasil penelitian dan penilaian dengan memelihara, menjaga, dan meningkatkan hasil-hasil yang telah dicapai supaya kondisi dan situasi tersebut tidak mengalami penurunan, tetapi akan lebih baik dan meningkat, baik secara secara kuantitas maupun kualitas pelaksanaan secara simultan, konsisten, dan kontinyu. Gwyn (dalam Mulyasa,2009:159) merumuskan 10 tugas utama supervisor:
· Membantu guru mengerti dan memahami
peserta didik
· Membantu mengembangkan dan
memperbaiki, baik secara individual maupun secara bersama-sama.
· Membantu seluruh staf sekolah agar
lebih efektif dalam melaksanakan proses belajar mengajar .
· Membantu guru meningkatkan cara
mengajar yang efektif.
· Membantu guru secara individual.
· Membantu guru agar dapat menilai
peserta didik lebih baik.
· Menstimulir guru agar dapat menilai
diri dan pekerjaannya.
· Membantu guru agar merasa bergairah
dalm pekerjaannya dengan penuh rasa aman.
· Membantu guru dalam melaksanakan
kurikulumdi sekolah.
· Membantu guru agar dapat memberikan
info yang seluas-luasnya kepada masyarakat tentang kemajuan sekolahnya.
3. Teknik Supervisi
a. Kunjungan dan observasi kelas
Kepala
sekolah mengamati langsung guru saat melaksanakan tugas, mengajar, penggunaan
alat, metode, teknik mengajar, secara keseluruhan dengan berbagai factor yang
mempengaruhi. Ada tiga pola yang dapat dilakukan dalam kegiatan ini, yaitu
tanpa memberitahu guru, memberi tahu lebih dahulu, dan kunjungan atas undangan
guru.
b. Pembicaraan individual
Merupakan
alat supervise yang penting karena
dalam kesempatan tersebut supervisor dapat bekerja secara individu dengan guru
dalam memecahkan masalah pribadi yang berhubungan dengan proses belajar
mengajar.
c. Diskusi kelompok / pertemuan
kelompok
Merupakan
kegiatan mengumpulkan sekelompok orang dalam situasi tatap muka dan interaksi
lisan untuk bertukar info atau berusaha mencapai suatu keputusan tentang
masalah bersama. Kegiatan diskusi kelompok dapat dikembangkan mlalui rapat
sekolah untuk membahas bersama-sama masalah pendidikan dan pengajaran di
sekolah itu.
d. Demonstrasi mengajar
Proses
belajar mengajar yang yang dilakukan oleh seorang guru yang memiliki kemampuan
dalam hal mengajar sehingga guru lain dapat mengambil hikmah dan manfaatnya.
Tujuannya member contoh bagaimana cara melaksanakan proses belajar mengajar
yang baik dalam menyajikan materi, menggunakan pendekatan, metode, dan media
pembelajaran.
e. Perpustakaan professional
Ciri
professional tercermin dalam kemauan untuk belajar secara terus menerus dalam
rangka meningkatkan dan memperbaiki tugas utamanya. Guru hendaknya merupakan
kelompok “reading people” dan menjadi
bagian dari masyarakat belajar yang menjadikan belajar sebagai kebutuhan hidup.
Selain
teknik-teknik diatas, ada teknik lain yang bisa digunakan antara lain program
orientasi, lokakarya, bulletin supervise,
penelitian tindakan (action research),
pengembangan kurikulum, rapat guru, bahkan penilaian diri sendiri berkaiatan
dengan pelaksanaan tugas oleh para guru.
4. Monitoring dan Evaluasi
Hasil monitoring dan evaluasi dapat
digunakan untuk mengukur tingkat kemajuan pendidikan di sekolah. Oleh karena
itu, keberhasilan ME ditentukan oleh informasi yang cepat, tepat dan cukup
untuk pengambilan keputusan. Monitoring (dalam Rokhmaniah,2008:37) adalah
proses pemantauan untuk mendapatkan informasi pelaksanaan MBS. Sedangkan
evaluasi ialah proses mendapatkan informasi tentang hasil MBS. Monitoring dan
evaluasi memiliki tujuan yaitu mendapatkan informasi sebagai masukan dalam
pengambilan keputusan dan member masukan (umpan balik) bagi perbaikan
pelaksanaan MBS baik konteks, input,
proses, output, maupun outcome.
Komponen MBS yang perlu di
monitoring dan di evaluasi adalah :
a. Konteks (eksternal sekolah) : berupa
tuntutan (demand) dan dukungan (support) yang berpengaruh terhadap input
sekolah. Evaluasinya dengan needs
assessment.
b. Input
c. Proses
d. Output (dampak pendidikan jangka
pendek)
e. Outcome (hasil MBS jangka panjang)
Ada
2 jenis ME :
·
Internal
: ME yang dilakukan oleh sekolah, tujuannya untuk mengetahui tingkat kemajuan
sekolah sehubungan dengan sasaran – sasaran sekolah. Pelaksanaan ME internal
adalah warga sekolah.
·
Eksternal
: ME yang dilakukan pihak luar sekolah seperti Dinas Pendidikan Kabupaten /
Kota, Dinas Pendidikan Provinsi, Pengawas, atau gabungan dari mereka.
·
Hasil
ME untuk system hadiah bagi sekolah, meningkatakan iklim kompetensi antar
sekolah, kepentingan akuntabilitas sekolah, memperbaiki sistem yang ada secara
menyeluruh, dan membantu sekolah mengembangkan dirinya.
2.15
Indikator Keberhasilan MBS
Yang menjadi faktor keberhasilan MBS diantaranya adalah
sebagai berikut :
1. Adanya pemerataan pendidikan (berupa
kesamaan kesempatan antara siswa – siswa desa-kota, kaya miskin,
laki-perempuan, cacat-tidak cacat).
2. Kualitas pendidikan (input, proses, output).
3. Efektivitas dan efisiensi pendidikan
(angka kenaikan kelas, angka kelulusan, angka putus sekolah).
4. Tata pengelolaan sekolah yang baik (
melalui partisipasi, transparansi, tanggung jawab, akuntabilitas, wawasan ke
depan, penegakan hukum, keadilan, demikrasi, prediktif, kepekaan,
profesionalisme, efektivitas dan efisiensi, serta kepastian jaminan hukum).
2.16
Peran
Kepala Sekolah, Guru, Orang Tua dan Masyarakat dalam menejemen berbasis sekolah (MBS)
Manajemen
berbasis sekolah (MBS) adalah salah satu bentuk pengelolaan manajemen sekolah
yang diterapkan untuk peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Beberapa faktor
yang melatarbelakangi munculnya Manajemen berbasis sekolah ini adalah: (1)
penerapan pendekatan education production function terlalu memusatkan
pada input pendidikan dan kurang memperhatikan pada proses pendidikan, (2)
penyelenggaraan pendidikan nasional dilakukan secara birokratik-sentralistik
sehingga menempatkan sekolah sebagai penyelenggara pendidikan sangat tergantung
pada keputusan birokrasi yang mempunyai jalur yang sangat panjang dan
kadang-kadang kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kondisi sekolah
setempat, (3) peran serta warga sekolah khususnya guru dan peran serta
masyarakat khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan selama
ini sangat minim. Peningkatan mutu pendidikan akan terwujud jika sekolah dengan
potensi yang dimiliki diberi kewenangan yang lebih luas dan fleksibel untuk
mengatur, mengelola, dan mengembangkannya secara mandiri melalui
keputusan-keputusan yang partisipatif.
Beberapa
pihak yang memiliki peran penting dalam menejemen berbasis sekolah
(MBS) adalah :
a.
Kepala Sekolah
Dalam
implementasi Manajemen berbasis sekolah, tanggung jawab utama (key person)
berada di pundak kepala sekolah (school principals). Dikatakan demikian
karena sudah lama diakui oleh para pakar manajemen pendidikan bahwa kepala
sekolah merupakan faktor kunci efektif tidaknya suatu sekolah. Kepala sekolah
dikatakan sebagai faktor kunci karena kepala sekolah memainkan peranan yang
sangat penting dalam keseluruhan spektrum pengelolaan sekolah. Sebagai manajer
pendidikan yang profesional, kepala sekolah bertanggung jawab sepenuhnya
terhadap sukses tidaknya sekolah yang dipimpinnya, sehingga dalam menerapkan Manajemen
berbasis sekolah, peran kepala sekolah sangat menentukan efektif tidaknya
pelaksanaan Manajemen berbasis sekolah. Peran kepala sekolah antara lain:
1.
Mengimplementasikan manajemen berbasis sekolah dengan
penerapan manajemen yang partisipatif dan transparan melalui pola kepemimpinan
yang terbuka, demokratis, saling menghargai, terbuka, kekeluargaan, dan selalu
menjaga hubungan kemanusian.
2.
Menjalankan peran supervisi kepala sekolah dalam
pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan besar sekali
pengaruhnya dalam membantu guru merealisasikan kegiatan pembelajaran yang
aktif, kreatif dan menyenangkan tersebut.
3.
Kepala sekolah berperan aktif dalam melibatkan orang
tua dan komite sekolah mendukung program-program sekolah.
b.
Guru
Pemberdayaan
dan akuntabilitas guru dan administrator adalah syarat penting dalam MBS. Guru
memiliki pengaruh dalam pengambilaqn kepuitusan dengan berpartisipasi dalam perencanaan, pengembangan, monitoring,
dan meningkatkan program pengajaran di dalam sekolah.
Peran
guru dalam MBS menurut Cheng (1996) adalah sebagai rekan kerja, pengambilo keputusan, dan
pengimplementasi program pengajaran. Mereka bekerja bersama-sama dengan
komitmen bersama dan berpartiosipasi dalam pengambilan keputusan untuk
mempromosikan pengajaran efektif dan mengembangkan sekolah mereka dengan
antusiasme.
Agar
para guru memiliki peran yang lebih besar dalam pengelolaan sekolah maka perlu
dilakukan desentralisasi pengetahuan. Terdapat dua jenis pengetahuan yang
penting untuk dimiliki para guru. Pertama, pengetahuan yang berkaitan dengan
tanggung jawabg partisipan sekolah di dalam kerangka MBS. Yang termasuk dalam
pengetahuan ini adalah cara mengorganisasi pertemuan-pertemuan, bagaimana cara
meraih consensus dan bagaimana cara membuat anggaran. Kedua, berkaitan dengan
pengajaran dan perubahan-perubahan program sekolah, diantaranya mencakup
pengetahuan tentang pengajaran, pembelajaran dan kurikulum.
Cheng
(1996) juga mengemukakan bahwa peran administrator sekolah dalam MBS adalah
pengembang dan pemimpin dalam mencapai tujuan. Mereka mengembangkan tujuan baru
untuk sekolah menurut situasi dan kebutuhannya. Selain itu, juga memimpin warga
sekolah untuk mencapai tujuan dan berkolaborasi dan terlibat penuh dalam fungsi
sekolah. Mereka juga memperbesar sumber-sumber daya untuk mempromosikan
perkembangan sekolah.
c.
Orang tua dan masyarakat (Komite sekolah)
Penelitian
yang dilakukan Balitbang Diknas RI menunjukan bahwa berdasarkan penilaian guru,
tingkat partisipasi orangtua siswa dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan
di sekolah adalah rendah, yaitu rata-rata hanya 57,1%. Partisipasi orang tua
siswa yang sangat rendah ialah dalam hall menentukan kebijakan program sekolah
dan mengawasinya, pertemuan rutin, kegiatan ekstarkurikuler dan pengembangan
iklim sekolah. Partisipasi orang tua siswa yang sangat tinggi ialah dalam
mengawasi mutu sekolah, pertemuan BP3, pembayaran dan bentuk iuran BP3 perbulan
dan sumbangan uang gedung untuk siswa baru.
Memang
selama ini seolah terjadi terjadi jurang pemisah antara sekolah dengan keluarga
dan masyarakat. Bahkan terjadi anggapan bahwa sekolah hanyalah sekedar tempat
penitipan anak karena orangtua tidak memiliki waktu untuk menjaga dan mendidik,
ataupun tidak bias dan tidak tahu cara mendidik anak. Walaupun sekolah telah
menjadi panti sosial bagi anak. Walaupun sekolah telah menjadi panti sosial
bagi anaknya, apresiasi orang tua dan masyarakat terhadap komunitas sekolah masih
amat rendah.
Apakah
rendahnya penghargaan dan rasa hormat orangtua dan masyarakat terhadap sekolah
itu karena mereka merasa telah memberikan imbalan yang cukup? Bila kita
bandingkan, apa yang dibayarkan orangtua ke sekolah dengan hasil yang dicapai
berupa perkembangan pengetahuan, keterampilan dan sikap siswa belumlah sepadan.
Malangnya
lagi selama ini belum ada upaya-upaya untuk menjembatani jurang pemisah
tersebut. Komunikasi orangtua dan masyarakat dengan sekolah hanya terjadi
setahun sekali, itupun ketika terjadi pemberitahuan perubahan besar iuran SPP
dan BP3 atau pemberitahuan tunggakan yang harus dilunasi. Mendeknya komunikasi
itu makin parah ketika timbul kesan bahwa diantar mereka terjadi perbedaan
kelas sosial dan tidak ada kesamaan visi dalam mendidik siswa.
Sejalan
dengan upaya reformasi pendidikan nasional melalui MBS, hubungan sekolah dengan
keluarga dan masyarakat juga perlu direformasi sehingga tanggung jawab
pendidikan bukan hanya dibebankan pada sekolah. Caranya dengan membentuk Dewan
Pendidikan, Komite Sekolah, Persatuan Guru dan Orangtua Siswa, atau apapun
namanya untuk memberdayakan orangtuanya dan masyarakat dalam pendidikan.
Anggotanya terdiri dari orangtua siswa, akademisi, pemuka agama, pimpinan
partai politik, tokoh masyarakat, pakar pendidikan, usahawan, dan dunia
industri serta kalangan LSM.
Dalam
era otonomi pendidikan ini, keluarga dan masyarakat bukan lagi pihak yang pasif
hanya penerima keputusan-keputusan dalam penyelenggaraan pendidikan. Mereka
harus aktif bermain, menetukan dan membuat program bersama sekolah dan
pemerintah.
Shields
(1994) menyatakan bahwa reformasi pendidikan harus sampai pada hubungan antar
sekolah dan keluarga dan masyarakat dengan cara melibatkan secara aktif dalam
kegiatan-kegiatan sekolah baik yang terkait langsung dengan kegiatan
pembelajaran maupun noninstruksional.
Seperti
yang dikemukakan Clark (1989) bahwa terdapat dua jenis pendekatan untuk
mengajak orangtua dan masyarakat berpartisipasi aktif dalam pendidikan.
Pertama, pendekatan school-based dengan
cara mengajak orangtua siswa datang ke sekolah melalui pertemuan-pertemuan,
konferensi, diskusi guru-orangtua dan mengunjungi anaknya yang sedang belajar
di sekolah. Kedua, pendekatan home-based,
yaitu orang tua membantu anaknya belajar di rumah bersama-sama dengan guru yang
berkunjung ke rumah.
Cheng
(1996) juga mengemukakan bahwa peran para orangtua dalam MBS adalah menerima
pelayanan yang berkualitas melalui siswa-siswa yang menerima pendidikan yang
mereka butuhkan. Peran orangtua sebagai partner dan pendukung. Mereka dapat
berpartisipasi dalam proses sekolah, mendidik siswa secara koperatif, berusaha
membantu perkembangan yang sehat kepada sekolah dengan memberi sumbangan sumber
daya dan informasi, mendukung dan melindungi sekolah pada saat mengalami
kesulitan dan krisis.
Keikutsertaan
masyarakat dan keluarga dalam pendidikan memiliki banyak keuntungan,l
sebagaiman dikemukakan Rhoda (1986). Pertama, pencapaian akademik dan
perkembangan kognitif siswa dapat berkembang secara signifikan. Kedua, orangtua
dapat mengetahui perkembangan anaknya dalam proses pendidikan di sekolah.
Ketiga, orangtua akan menjadi guru yang baik di rumah dan bias menerapkan
formula-formula positif untuk pendidikan ankanya. Keempat, akhirnya orangtua
memiliki sikap dan pandangan positif terhadap sekolah.
Sementara
itu, Clark (1989) menambahkan keuntungan lainnya adalah menumbuhkan rasa percya
diri siswa dan meningkatkan hubungan baik antar orang tua dan anak. Penulis
juga melihat keuntungan lainnya dengan mengetahui perkembangan anaknya maka
orang tua mampu mengarahkan minat dan bakatnya secara dini.
Untuk
apa perlu memberdayakan masyarakat dalam pendidikan? Pertama, menurut Uemura
(1999) dalam tulisannya Community Participation in Education mengatakan bahwa
tujuan partisipasi tersebut untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan
pendidikan sehingga siswa bias belajar lebih baik dan siap menghadapi perubahan
zaman.
Kedua,
karena keterbatasan sumber daya terutama financial yang dimiliki pemerintah,
terutama bagi Negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, untuk
menyelenggarakan pendidikan bagi setiap warga Negara.
Ketiga,
meningkatkan relevansi pendidikan karena selama ini pendidikan selalu
ketinggalan dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang
dalam masyarakat.
Keempat,
agar mendorong terselenggaranya system pendidikan yang adil dengan menyediakan
pendidikan bagi anak yang kurang mampu, kaum wanita, masyarakat terasing, dan
suku minoritas.
Kelima,
untuk meningkatkan kerja samaantar sekolah dan masyarakat dan mengurangi
konflik yang sering terjadi di sekolah.
Di
El Savador partisipasi masyarakatdalam MBS menurut Umanzor, dkk. (1997)
memiliki tiga tujuan utama. Pertama, meningkatkan pelayanan, pendidikan kepada
masyarakat termiskin di daerah pedesaan. Kedua, mendorong partisipasi anggota
masyarakat local,terhadap pendidikan anak-anak mereka. Ketiga, meningkatkan
kualitas pendidikan prasekolah dan pendidikan dasar.
Tokoh
masyarakat juga memiliki peran yang penting demi kemajuan pendidikan antara
lain sebagai berikut :
1.
Pergerakan, dengan membentuk badan kerja
sama pendidikan dengan menghimpun kekuatan dari masyarakat agar semakin peduli
terhadap pendidikan. Salah satu caranya dengan membentuk Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) peduli pendidikan.
2.
Informan dan penghubung, yaitu
menginformasikan harapan dan kepentingan masyarakat kepada sekolah dan
menginformasikan kondisi sekolah, baik kekurangan maupun kelebihan sekolah
kepada masyarakatsehingga masyarakat tahu secara persis keadaan sekolah.
3.
Koordinator, yaitu mengkoodinasikan kepentingan sekolah dengan
kebutuhan bisnis di lingkungan masyarakat tersebut, agar siswa-siswa sekolah di
beri kesempatan untuk praktik dan magang kerja di industri terkait.
4.
Pengusul, yaitu mengusulkan kepada
pemerintah daerah agar dilakukan pajak
untuk pendidikan. Artinya, lembaga
bisnis dan individu dikenai pajak untuk pendanaan pendidikan sehingga sehingga
lembaga pendidikan semakin maju dan bermutu.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Beberapa hal
yang dapa disimpulka terkait materi yang telah dipaparkan adalah sebagai
berikut :
1.
Pengetian menejemen berbasis sekolah
(MBS)
Manajemen berbasis sekolah (MBS) adalah bentuk
alternatif sekolah sebagai hasil dari desentralisasi pendidikan. Manajemen
berbasis sekolah (MBS) pada prinsipnya bertumpu pada sekolah dan masyarakat
serta jauh dari birokrasi yang sentralistik. Manajemen berbasis sekolah (MBS)
berpotensi untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, pemerataan, efisiensi,
serta manajemen yang bertumpu pada tingkat sekolah.
Manajemen berbasis sekolah (MBS) dimaksudkan otonomi
sekolah, menentukan sendiri apa yang perlu diajarkan, dan mengelola sumber daya
yang ada untuk berinovasi. Manajemen berbasis sekolah (MBS) juga memiliki
potensi yang besar untuk menciptakan kepala sekolah, guru, administrator yang
professional. Dengan demikian, sekolah akan bersifat responsif terhadap
kebutuhan masing-masing siswa dan masyarakat sekolah. Prestasi belajar siswa
dapat dioptimalkan melalui partisipasi langsung orang tua dan masyarakat.
2.
Tujuan dari menejemen
berbasis sekolah (MBS)?
Secara garis besar tujuan Manajemen
berbasis sekolah (MBS) adalah sebagai berikut :
a.
Meningkatkan mutu pendidikan melalui
kemandirian dan inisiatif sekolah dalam megelola dan memberdayakan sumber daya yang
tersedia;
b.
Meningkatkan kepedulian warga sekolah
dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan
bersama;
c.
Meningkatkan tanggung jawab sekolah
kepada orang tua, masyarakat, dan pemerintah tentang mutu sekolahnya; dan
d.
Meningkatkan kompetisi yang sehat antar
sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai.
3.
Prinsip dalam menejemen
berbasis sekolah (MBS)
Teori yang digunakan Manajemen berbasis sekolah (MBS) untuk
mengelola sekolah didasarkan pada empat prinsip yaitu:
a.
Prinsip Ekuifinalitas (Principal of Equifinality)
b.
Prinsip Desentralisasi (Principal of
Decentralization)
c.
Prinsip Sistem Pengelolaan Mandiri (Principal of
Self Managing System)
d.
Prinsip Inisiatif Manusia (Principal of Human
Initiative)
4.
Komponen dalam menejemen
berbasis sekolah (MBS)
Hal yang
paling penting dalam implementasi Manajemen berbasis sekolah (MBS) adalah
manajemen terhadap komponen-komponen sekolah itu sendiri. Sedikitnya terdapat
tujuh komponen sekolah yang harus dikelola dengan baik dalam rangka manajemen
berbasis sekolah (MBS), yaitu:
a. Manajemen
kurikulum dan program pengajaran
b. Manajemen
tenaga kependidikan
c. Manajemen
kesiswaan
d. Manajemen
keuangan dan pembiayaan
e. Manajemen
sarana dan prasarana pendidikan
f. Manajemen
hubungan sekolah dengan masyarakat
g. Manajemen
layanan khusus.
5.
Konsep dari manajemen
berbasis sekolah (MBS)
Dengan
mengadopsi ide dasar Edward B. Fiska (1996) Nanang Fatah Manajemen berbasis
sekolah (MBS) secara konsepsional akan membawa dampak terhadap peningkatan
kinerja sekolah dalam hal mutu, efisiensi manajemen keuangan, pemerataan lewat
perubahan kebijakan desentralisasi di berbagai aspek seperti politik, edukatif,
administratif dan anggaran pendidikan.
6.
Karakteristik dari manajemen
berbasis sekolah (MBS)
Karakteristik
Manajemen berbasis sekolah (MBS) bisa diketahui antara lain dari bagaimana
sekolah dapat mengoptimalkan kinerja organisasi sekolah, proses belajar
mengajar, pengelolaan sumber daya manusia, dan pengelolaan sumber daya dan
administrasi. Sejalan dengan itu, Saud (2002) berdasarkan pelaksanaan di Negara
maju mengemukakan bahwa karakteristik dasar Manajemen berbasis sekolah (MBS) adalah
pemberian otonomi yang luas kepada sekolah, partisipasi masyarakat dan orang
tua peserta didik yang tinggi. Kepemimpinan kepala sekolah yang demokratis dan
professional, serta adanya team work
yang tinggi dan professional.
7.
Penerapan dari Menejemen
Berbasis Sekolah (MBS)
Penerapan Manajemen
berbasis sekolah (MBS) mensyaratkan yang berikut :
a. Manajemen
berbasis sekolah (MBS) harus mendapat dukungan staf
sekolah.
b. Manajemen
berbasis sekolah (MBS) lebih mungkin berhasil jika
diterapkan secara bertahap.
c. Staf
sekolah dan kantor dinas harus memperoleh pelatihan penerapannya, pada saat
yang sama juga harus belajar menyesuaikan diri dengan peran dan saluran
komunikasi yang baru.
d. Harus
disediakan dukungan anggaran untuk pelatihan dan penyediaan waktu bagi staf
untuk bertemu secara teratur.
e. Pemerintah
pusat dan daerah harus mendelegasikan wewenang kepada kepala sekolah, dan
kepala sekolah selanjutnya berbagi kewenangan ini dengan para guru dan orang
tua murid.
8.
Manajemen berbasis sekolah (MBS) yang
berhubungan Prestasi Belajar Murid
MBS
merupakan salah satu gagasan yang diterapkan untuk meningkatkan pendidikan
umum. Tujuan akhirnya adalah meningkatkan lingkungan yang kondusif bagi
pembelajaran murid. Dengan demikian, ia bukan sekadar cara demokratis
melibatkan lebih banyak pihak dalam pengambilan keputusan. Keterlibatan itu
tidak berarti banyak jika keputusan yang diambil tidak membuahkan hasil lebih
baik.
Kita
belum memiliki pengalaman untuk mengaitkan penerapan MBS dengan prestasi
belajar murid. Di Amerika Serikat (David Peterson, ERIC_Digests, 2002) upaya
mengaitkan MBS dengan prestasi belajar murid masih problematis. Belum banyak
penelitian kuantitatif yang telah dilakukan dalam topik ini. Selain itu, masih
diragukan apakah benar penerapan MBS berkaitan dengan prestasi murid. Boleh
jadi masih banyak faktor lain yang mungkin mempengaruhi prestasi itu setelah
diterapkannya MBS. Masalah penelitian ini makin diperparah dengan tiadanya
definisi standar mengenai MBS. Studi yang dilakukan tidak selamanya
mengindikasikan sejauhmana sekolah telah mendistribusikan kembali wewenangnya.
Salah
satu studi yang dilakukan yang menelaah ratusan dokumen justru menunjukkan
bahwa dalam banyak contoh, MBS tidak mencapai tujuan yang ditetapkan. Studi itu
menunjukkan bahwa peningkatan prestasi murid tampaknya hanya terjadi di
sejumlah sekolah yang dijadikan pilot studi dan dalam jangka waktu tidak lama
pula.
Hasil
MBS di daerah perkotaan masih belum jelas benar. Di sekolah di daerah pingiran
kota Maryland menunjukkan adanya peningkatan prestasi murid dalam skor tes terutama
di kalangan orang Amerika keturunan Afrika, setelah menerapkan lima langkah
rencana reformasi, termasuk MBS. Namun, di tempat lain, seperti Dade County,
Florida, setelah menerapkan MBS selama tiga tahun, prestasi murid di
sekolah-sekolah dalam kota justru menurun.
Dengan
kata lain, penerapan manajemen berbasis sekolah mungkin tidak berdampak pada
belajar kecuali aturan-aturan ini, yang secara umum disebut peningkatan
kapasitas dan pemanfaatan kapasitas, telah berhasil.
9.
Upaya agar Manajemen berbasis sekolah (MBS) Meningkatkan
Prestasi Belajar
Hasil
penelitian tentang dampak penerapan MBS terhadap mutu pendidikan ternyata
sangat bervariasi. Ada penelitian yang menyatakan negatif. Ada yang
kosong-kosong. Ada pula yang positif.
Penelitian
yang dilakukan oleh Leithwood dan Menzies (1998a) dengan 83 studi empirikal
tentang MBS menyatakan bahwa penerapan MBS terhadap mutu pendidikan ternyata
negatif, “there is virtually no firm”.
Fullan (1993) juga menyatakan kesimpulan yang kurang lebih sama. “There is also no doubt that evidence of a
direct cause-and-effect relationship between self-management and improved
outcomes is minimal”. Tidak diragukan lagi bahwa hubungan sebab akibat
hubungan antara MBS dengan peningkatan mutu hasil pendidikan adalah minimal.
Hal ini dapat dimengerti karena penerapan MBS tidak secara langsung terkait
dengan kejadian di ruang kelas.
Sebaliknya,
Gaziel (1998) menyimpulkan hasil penelitian di sekolah-sekolah Esrael bahwa ”greater school autonomy has a positive
impact on teacher motivation and commitment and on the school’s achievement”.
Pemberian
otonomi yang lebih besar kepada sekolah telah mempunyai dampak positif terhadap
motivasi dan komitmen guru dan terhadap keberhasilan sekolah. Hasil penelitan
William (1997) di Kerajaan Inggris dan New Zealand menunjukkan bahwa “the increase decision-making power of
principals has allowed them to introduce innovative programs and practices”.
Peningkatan kemampuan kepala sekolah dalam pengambilan keputusan telah membuat
memperkenalkan program dan praktik (penyelenggaraan pendidikan) yang inovatif.
Geoff Spring, arsitek reformasi di Australia Selatan dan Victoria menyatakan
bahwa “school-based management has led to
higher student achievement” De Grouwe (1999).
Hal
yang menggembirakan juga dinyatakan oleh King dan Ozler (1998) menyatakan bahwa
“enhanced community and parental
involvement in EDUCO schools has
improved students language skills and
diminished absenteeism”. Jemenez dan Sawada (1998) menyimpulkan bahwa
pelibatan masyarakat dan orangtua siswa mempunyai dampak jangka panjang dalam
peningkatan hasil belajar.
10. Strategi
peningkatan mutu pendidikan melalui Manajemen berbasis sekolah (MBS)
Salah
satu strategi adalah menciptakan prakondisi yang kondusif untuk dapat
menerapkan MBS, yakni:
a.
Peningkatan
kapasitas dan komitmen seluruh warga sekolah, termasuk masyarakat dan orangtua
siswa. Upaya untuk memperkuat peran kepala sekolah harus menjadi kebijakan yang
mengiringi penerapan kebijakan MBS. ”An
essential point is that schools and teachers will need capacity building if
school-based management is to work”. Demikian De grouwe menegaskan.
b.
Membangun
budaya sekolah (school culture) yang
demokratis, transparan, dan akuntabel. Termasuk membiasakan sekolah untuk
membuat laporan pertanggungjawaban kepada masyarakat. Model memajangkan RAPBS
di papan pengumuman sekolah yang dilakukan oleh Managing Basic Education (MBE) merupakan tahap awal yang sangat
positif. Juga membuat laporan secara insidental berupa booklet, leaflet, atau
poster tentang rencana kegiatan sekolah. Alangkah serasinya jika kepala sekolah
dan ketua Komite Sekolah dapat tampil bersama dalam media tersebut.
c.
Pemerintah
pusat lebih memainkan peran monitoring dan evaluasi. Dengan kata lain,
pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu melakukan kegiatan bersama dalam
rangka monitoring dan evaluasi pelaksanaan MBS di sekolah, termasuk pelaksanaan
block grant yang diterima sekolah.
d.
Mengembangkan
model program pemberdayaan sekolah. Bukan hanya sekedar melakukan pelatihan
MBS, yang lebih banyak dipenuhi dengan pemberian informasi kepada sekolah.
Model pemberdayaan sekolah berupa pendampingan atau fasilitasi dinilai lebih
memberikan hasil yang lebih nyata dibandingkan dengan pola-pola lama berupa
penataran MBS.
11. Hambatan yang
terjadi dalam penerapan Manajemen berbasis sekolah (MBS)
Beberapa hambatan yang mungkin dihadapi pihak-pihak
berkepentingan dalam penerapan Manajemen berbasis sekolah
(MBS) adalah sebagai berikut :
a. Tidak
Berminat Untuk Terlibat
b. Tidak
Efisien
c. Pikiran
Kelompok
d. Memerlukan
Pelatihan
e. Kebingungan
Atas Peran dan Tanggung Jawab Baru
f. Kesulitan
Koordinasi
12. Keuntungan
dari penerapan Manajemen berbasis sekolah (MBS)
Beberapa
keuntungan Manajemen berbasis sekolah (MBS) adalah sebagai
berikut:
a.
Kebijaksanaan dan kewenangan sekolah membawa
pengaruh langsung kepada peserta didik, orang tua, dan guru.
b.
Bertujuan bagaimana memanfaatkan sumber
daya lokal.
c.
Efektif dalam melakukan pembinaan
peserta didik seperti kehadiran, hasil belajar, tingkat pengulangan, tingkat
putus sekolah, moral guru, dan iklim sekolah.
d.
Adanya
perhatian bersama untuk mengambil keputusan, memberdayakan guru, manajemen
sekolah, rancangan ulang sekolah, dan perubahan perencanaan.
Adapun manfaat yang diperoleh dari manajemen berbasis
sekolah (MBS) adalah :
a.
Dengan kondisi setempat,
sekolah dapat meningkatkan kesejahteraan guru sehingga dapat lebih
berkonsentrasi pada tugasnya;
b.
Keleluasaan dalam mengelola
sumberdaya dan dalam menyertakan masyarakat untuk berpartisipasi, mendorong profesionalisme kepala sekolah, dalam
peranannya sebagai manajer maupun pemimpin sekolah;
c.
Guru didorong untuk
berinovasi;
d.
Rasa tanggap sekolah
terhadap kebutuhan setempat meningkat dan menjamin layanan pendidikan sesuai
dengan tuntutan masyarakat sekolah dan peserta didik.
13. Kepemimpinan dalam manajemen
berbasis sekolah (MBS)
1.
Pengertian
Menurut
Sutisna, kepemimpinan adalah proses mempengaruhi kegiatan seseorang atau
kelompok dalam usaha ke arah pencapaian tujuan dalam situasi tertentu. Menurut
Soepardi, kepemimpinan adalah kemampuan untuk menggerakkan, mempengaruhi,
memotivasi, mengajak, mengarahkan, menasehati, membimbing, menyuruh,
memerintah, melarang, dan bahkan menghukum (kalau perlu) serta membina dengan
maksud agar manusia sebagai media manajemen mau bekerja dalam rangka mencapai
tujuan administrasi secara efektif dan efisien.
2.
Gaya
Kepemimpinan
Adalah
cara yang digunakan pemimpin dalam mempengaruhi para pengikutnya. Thoha
mengartikan sebagai norma perilaku yang digunakan seseorang pada saat orang
tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain seperti yang ia lihat.
3. Kepemimpinan Dalam Peningkatan
Kinerja
a. Pembinaan disiplin (self-disipline)
b. Pembangkitan motivasi
c. Penghargaan (rewards)
4. Kepemimpinan Kepala Sekolah yang
Efektif Kriteria kepemimpin kepala sekolah yang efektif, kriterianya :
a. Mampu memberdayakan guru untuk
melaksanakan proses pembelajaran yang baik, lancar, dan produktif.
b. Dapat menyelesaikan tugas dan
pekerjaan tepat waktu.
c. Mampu menjalin hubungan yang
harmonis dengan masyarakat, melibatkan masyarakat secara aktif dalam rangka
mewujudkan tujuan sekolah dan pendidikan.
d. Berhasil menerapkan prinsip
kepemimpinan yang sesuai dengan tingkat kedewasaan guru dan pegawai lain di
sekolah.
e. Berhasil mewujudkan tujuan sekolah
secara produktif sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
14. Koordinasi, Komunikasi, dan
Supervisi dalam manajemen berbasis sekolah (MBS)
1.
Koordinasi
dalam MBS
Coordination, berasal dari bahasa latin cum,
artinya berbeda-beda, sedangkan ordinare, artinya penyusunan/penempatan sesuatu
pada keharusannya. Dalam MBS koordinasi berkaitan dengan penempatan berbagai
kegiatan yang berbeda – beda pada keharusan tertentu sesuai aturan yang berlaku
untuk mencapai tujuan dengan sebaik-baiknya melalui proses yang tidak
membosankan.
Ada
lima prinsip utama yang harus diperhatikan agar koordinasi berjalan lancar,
antara lain : koordinasi harus dimulai dari tahap perencanaan awal, menciptakan
iklim yang kondusif bagi kepentingan bersama, koordinasi merupakan proses yang
terus menerus dan berkesinambungan, koordinasi merupakan pertemuan-pertemuan
bersama untuk mencapai tujuan, serta perbedaan pendapat harus diakui sebagai
pengayaan dan harus dikemukakan secara terbuka dan diselidiki dalam kaitannya
dengan situasi secara keseluruhan.
2.
Komunikasi
dalam MBS
a. Komunikasi Intern
· Dasar : komunikasi yang baik antara
berbagai personil harus dikembangkan untuk mencapai hasil seoptimal mungkin.
Kurang komunikasi akan mengakibatkan kurangnya hasil yang dapat diwujudkan,
bahkan sering gagal mencapai tujuan.
· Tujuan : menciptakan kondisi menarik
dan hangat, personil dapat bekerja terdorong untuk berprestasi lebih baik dan
mengerjakan tugas mendidik dengan penuh kesadaran.
· Manfaat : mudah dalam
memecahkan/menyelesaikan masalah dengan bantuan orang (diskusi).
b. Komunikasi Ekstern
1. Hubungan Sekolah dengan Orang Tua
Tujuan
: saling membantu dan saling isi mengisi mengenai bantuan keuangan dan
barang-barang, untuk mencegah perbuatan yang kurang baik, dan bersama-sama
membuat rencana yang baik untuk sang anak.
2. Hubungan Sekolah dengan masyarakat
Tujuannya
ada 2 dimensi :
·
Kepentingan
sekolah : memelihara kelangsungan hidup sekolah, meningkatkan mutu pendidikan
di sekolah, memperlancar kegiatan belajar mengajar, memperoleh bantuan dan
dukungan dari masyarakat dalam rangka pengembangan dan pelaksanaan program
sekolah.
·
Kebutuhan
sekolah : memajukan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, memperoleh
kemajuan sekolah dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi masyarakat,
menjamin relevansi program sekolah dengan kebutuhan dan perkembangan
masyarakat, memperoleh kembali anggota masyarakat yang terampil dan makin
meningkatkan kemampuannya.
Hubungan
dapat dijalin dengan melalui dewan sekolah, melalui rapat BP3, melalui rapat
bersama, konsultasi, radio, tv, surat, telepon, pameran sekolah (pameran hasil
karya peserta didik, pementasan,dan mencari dana) , serta melalui ceramah.
3.
Supervisi
dalam MBS
Secara
etimologi kata super dan visi mengandung arti melihat dan meninjau dari atas
atau menilik dan menilai dari atas yang dilakukan oleh pihak atasan terhadap
aktivitas, kreativitas dan kinerja bawahan. Istilah yang hampir sama dengan
supervisi, yaitu pengawasan. Pengawasan adalah kegiatan untuk melakukan
pengamatan agar pekerjaan dilakukan sesuai dengan ketentuan. Pemeriksaan
maksudnya untuk melihat bagaimana kegiatan yang dilaksanakan telah mencapai
tujuan.
Dalam
MBS, supervise ditekankan pada pembinaan dan peningkatan kemampuan serta
kinerja tenaga kependidikan di sekolah dalam melaksanakan tugas. Dalam Carter Good’s dictionary of Education
(dalam Mulyasa,2009:155), supervisi adalah segala usaha pejabat sekolah dalam
memimpin guru-guru dan tenaga kependidikan lainnya untuk memperbaiki
pengajaran, termasuk menstimulasi, menyeleksi pertumbuhan dan perkembangan
jabatan guru-guru, menyeleksi dan merevisi tujuan–tujuan pendidikan, bahan
pengajaran dan metode-metode mengajar serta evaluasi pengajaran. Sutisna mendeskripsikan supervise sebagai
bantuan dalam pengembangan situasi belajar mengajar yang lebih baik.
Supervisi
yang baik hendaknya mengembangkan kepemimpinan dalam kelompok, membangun
program satu tahun dalam jabatan untuk meningkatkan keterampilan dan kemampuan
guru dalam menilai hasil pekerjaannya. Sahertian mengartikan supervise sebagai
usaha mengawali, mengarahkan, menkoordinasi dan membimbing secara kontinu
pertumbuhan guru baik secara individual maupun secara kolektif, agar lebih
mengerti dan lebih efektif dalam mewujudkan seluruh fungsi pengajaran sehingga
dapat menstimulasi dan membimbing pertumbuhan tiap murid secara kontinyu
sehingga dapat lebih cepat berpartisipasi dalam masyarakat demokrasi modern.
15. Indikator keberhasilan manajemen
berbasis sekolah (MBS)
Yang
menjadi faktor keberhasilan MBS diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Adanya pemerataan pendidikan
2. Kualitas pendidikan (input, proses, output).
3. Efektivitas dan efisiensi pendidikan
4. Tata pengelolaan sekolah yang baik
16. Peran
Kepala Sekolah, Guru, Orang Tua dan Masyarakat dalam menejemen
berbasis sekolah (MBS)
Beberapa pihak yang mempunyai peran
yang sangat penting dalam pelaksanaan MBS adalah
a.
Kepala Sekolah
Dalam
implementasi Manajemen berbasis sekolah, tanggung jawab utama (key person)
berada di pundak kepala sekolah (school principals). Kepala sekolah
dikatakan sebagai faktor kunci karena kepala sekolah memainkan peranan yang
sangat penting dalam keseluruhan spektrum pengelolaan sekolah. Peran kepala
sekolah antara lain:
1. Mengimplementasikan
Manajemen berbasis sekolah dengan penerapan manajemen yang partisipatif dan
transparan melalui pola kepemimpinan yang terbuka, demokratis, saling
menghargai, terbuka, kekeluargaan, dan selalu menjaga hubungan kemanusian.
2. Menjalankan peran
supervisi kepala sekolah dalam pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan
menyenangkan besar sekali pengaruhnya dalam membantu guru merealisasikan
kegiatan pembelajaran yang aktif, kreatif dan menyenangkan tersebut.
3. Kepala
sekolah berperan aktif dalam melibatkan orang tua dan komite sekolah mendukung
program-program sekolah.
b.
Guru
Pemberdayaan
dan akuntabilitas guru dan administrator adalah syarat penting dalam MBS. Peran
guru dalam MBS menurut Cheng (1996) adalah sebagai rekan kerja, pengambilo keputusan, dan
pengimplementasi program pengajaran. Mereka bekerja bersama-sama dengan
komitmen bersama dan berpartiosipasi dalam pengambilan keputusan untuk
mempromosikan pengajaran efektif dan mengembangkan sekolah mereka dengan
antusiasme.
c.
Orang tua dan masyarakat (Komite sekolah)
Penelitian
yang dilakukan Balitbang Diknas RI menunjukan bahwa berdasarkan penilaian guru,
tingkat partisipasi orangtua siswa dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan
di sekolah adalah rendah, yaitu rata-rata hanya 57,1%. Partisipasi orang tua
siswa yang sangat rendah ialah dalam hall menentukan kebijakan program sekolah
dan mengawasinya, pertemuan rutin, kegiatan ekstarkurikuler dan pengembangan
iklim sekolah. Partisipasi orang tua siswa yang sangat tinggi ialah dalam mengawasi
mutu sekolah, pertemuan BP3, pembayaran dan bentuk iuran BP3 perbulan dan
sumbangan uang gedung untuk siswa baru.
Sejalan
dengan upaya reformasi pendidikan nasional melalui MBS, hubungan sekolah dengan
keluarga dan masyarakat juga perlu direformasi sehingga tanggung jawab
pendidikan bukan hanya dibebankan pada sekolah. Caranya dengan membentuk Dewan
Pendidikan, Komite Sekolah, Persatuan Guru dan Orangtua Siswa, atau apapun
namanya untuk memberdayakan orangtuanya dan masyarakat dalam pendidikan. Anggotanya
terdiri dari orangtua siswa, akademisi, pemuka agama, pimpinan partai politik,
tokoh masyarakat, pakar pendidikan, usahawan, dan dunia industri serta kalangan
LSM.
Tokoh
masyarakat juga memiliki peran yang penting demi kemajuan pendidikan antara
lain sebagai berikut :
1.
Pergerakan
2.
Informan dan penghubung
3.
Koordinator
4.
Pengusul
3.2 Saran
Daftar
Pustaka
Amiruddin Siahaan dkk, 2006 Manajemen Pendidikan
Berbasis Sekolah, Jakarta: Quantum Teaching. anugrahazzavirtiumPosted on Juli 15, 2012. Manajemen
berbasis sekolah. Dipostkan oleh anugrahazzavirtiumhttp://anugrahazzavirtium.wordpress.com/2012/07/15/manajemen-berbasis-sekolah-makalah-kuliah-kite-gan-2.html
Depdiknas, 2001. Panduan Monitoring dan Evaluasi dalam
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta: Dikmenum.
E.
Mulyasa, Manajemen berbasis sekolah, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004
Nanang Fattah, Konsep Manajemen berbasis sekolah (MBS) dan Dewan Sekolah, Bandung:
Pustaka Bani Quraisy, 2004
Fadjar,
Malik, 2002, Kata Pengantar dalam Ibtisam Abu Duhou, School-Based Management
(Penerjemah Noryamin Aini), Jakarta: Logos.
lyla-innocent. Kamis, 14 juni 2012. Management berbasis sekolah. Dipostkan
oleh lyla di http://layla-innocent.blogspot.com/2012/06/makalah-manajemen-berbasis-sekolah.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar