Senin, 17 Juni 2013

Manajemen Berbasis Sekolah



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Di Indonesia pendidikan mempunyai peran yang sangat penting bagi perkembangan pembanguna bangsa. Pendidikan dapat dienyam melalui jalur pendidikan formal, informal, dan nonformal. Pendidikan formal yaitu jalur pendidikan yang diakui secara resmi dan biasanya di bentuk oleh pemerintahan pusat melalui lembaga resminya dalam bentuk sekolah. Sekolah merupakan salah satu dari Tripusat pendidikan yang dituntut untuk mampu menjadikan output yang unggul, mengutip pendapat Gorton tentang sekolah ia mengemukakan, bahwa sekolah adalah suatu sistem organisasi, di mana terdapat sejumlah orang yang bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan sekolah yang dikenal sebagai tujuan instruksional.
Desain organisasi sekolah adalah di dalamnya terdapat tim administrasi sekolah yang terdiri dari sekelompok orang yang bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan oranisasi.
Dalam sebuah organisasi maka sangat diperlukan adanya sebuah manajemen yang tepat dan mampu memberikan sebuah perbaikan-perbaikan begitu juga dalam sebuah organisasi pendidikan yaitu sekolah maka harus ada sebuah menejemen yang mampu mengarahkan kepada arah pendidikan yang lebih baik lagi.lembaga-lembaga pendidikan dituntut untuk dapat meningkatkan kualitas pendidikan di lembaganya masing-masing. Penerapan manajemen dalam pendidikan sangat penting karena pendidikan itu merupakan salah satu dinamisator pembangunan itu sendiri.
MBS terlahir dengan beberapa nama yang berbeda, yaitu tata kelola berbasis sekolah (school-based governance), manajemen mandiri sekolah (school self-manegement), dan bahkan juga dikenal dengan school site management atau manajemen yang bermarkas di sekolah.
Istilah-istilah tersebut memang mempunyai pengertian dengan penekanan yang sedikit berbeda. Namun, nama-nama tersebut memiliki roh yang sama, yakni sekolah diharapkan dapat menjadi lebih otonom dalam pelaksanaan manajemen sekolahnya, khususnya dalam penggunakaan 3M-nya, yakni man, money, dan material.
Penyerahan otonomi dalam pengelolaan sekolah ini diberikan tidak lain dan tidak bukan adalah dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Oleh karena itu, maka Direktorat Pembinaan SMP menamakan MBS sebagai Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS).
Tujuan utama adalah untuk mengembangkan prosedur kebijakan sekolah, memecahkan masalah-masalah umum, memanfaatkan semua potensi individu yang tergabung dalam tim tersebut. Sehingga sekolah selain dapat mencetak orang yang cerdas juga dapat mempersiapkan tenaga-tenaga pembangunan.
Oleh karena itu perlu diketahui pandangan filosofis tentang hakekat sekolah dan masyarakat dalam kehidupan kita. sekolah adalah bagian yang integral dari masyarakat, ia bukan merupakan lembaga yang terpisah dari masyarakat, hak hidup dan kelangsungan hidup sekolah bergantung pada masyarakat, sekolah adlah lembaga sosial yang berfungsi untuk melayani anggota-anggota masyarakat dalam bidang pendidikan, kemajuan sekolah dan masyarakat saling berkolerasi, keduanya saling membutuhkan, Masyarakat adalah pemilik sekolah, sekolah ada karena masyarakat memerlukannya.


1.2  Rumusan masalah
Adapun beberapa rumusan masalah yang menjadi pertimbangan dibuatnya makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Apa yang dimaksud dengan menejemen berbasis sekolah (MBS)?
2.      Apa tujuan dari menejemen berbasis sekolah (MBS)?
3.      Apa saja prinsip dalam menejemen berbasis sekolah (MBS)?
4.      Apa saja komponen dalam menejemen berbasis sekolah (MBS)?
5.      Apa saja konsep dari manajemen berbasis sekolah (MBS)?
6.      Apa saja karakteristik dari manajemen berbasis sekolah (MBS)?
7.      Bagaimana penerapan dari menejemen berbasis sekolah (MBS)?
8.      Bagaimana gambaran manajemen berbasis sekolah (MBS) yang berhubungan Prestasi Belajar Murid ?
9.      Bagaimana upaya agar manajemen berbasis sekolah (MBS) Meningkatkan Prestasi Belajar?
10.  Apa strategi peningkatan mutu pendidikan melalui manajemen berbasis sekolah (MBS)?
11.  Apa hambatan yang terjadi dalam penerapan manajemen berbasis sekolah (MBS)?
12.  Apa keuntungan dan manfaat dari penerapan manajemen berbasis sekolah (MBS)?
13.  Bagaimana kepemimpinan dalam MBS?
14.  Bagaimana koordinasi, Komunikasi, dan Supervisi dalam MBS?
15.  Apa indikator keberhasilan MBS?
16.  Bagaimana peran Kepala Sekolah, Guru, Orang Tua dan Masyarakat dalam menejemen berbasis sekolah (MBS)?


1.3  Tujuan penulisan makalah
Adapun tujuan yang ingin dicapai dengan dibuatnya makalah ini adalah :
1.      Mengetahui apa yang dimaksud dengan menejemen berbasis sekolah (MBS)
2.      Mengetahui tujuan dari menejemen berbasis sekolah (MBS)
3.      Mengetahui prinsip dalam menejemen berbasis sekolah (MBS)
4.      Mengetahui komponen dalam menejemen berbasis sekolah (MBS)
5.      Mengetahui konsep dari manajemen berbasis sekolah (MBS)
6.      Mengetahui karakteristik dari manajemen berbasis sekolah (MBS)
7.      Mengetahi penerapan dari manajemen berbasis sekolah (MBS)
8.      Mengetahui gambaran manajemen berbasis sekolah (MBS) yang berhubungan prestasi belajar murid
9.      Mengetahui upaya agar  manajemen berbasis sekolah (MBS) meningkatkan prestasi belajar
10.  Mengetahui strategi peningkatan mutu pendidikan melalui manajemen berbasis sekolah (MBS)
11.  Mengetahui hambatan yang terjadi dalam penerapan manajemen berbasis sekolah (MBS)
12.  Mengetahui keuntungan dan manfaat  dari penerapan menejemen berbasis sekolah (MBS)
13.  Mengetahui kepemimpinan dalam manajemen berbasis sekolah (MBS)
14.  Mengetahui koordinasi, Komunikasi, dan Supervisi dalam manajemen berbasis sekolah (MBS)
15.  Mengetahui indikator keberhasilan manajemen berbasis sekolah (MBS)
16.  Mengetahui Peran Kepala Sekolah, Guru, Orang Tua dan Masyarakat dalam menejemen berbasis sekolah (MBS)


1.4  Manfaat penulisan makalah
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari makalah ini adalah :
1.        Sebagai solusi alternatif dalam mengolola dan memanejemen pendidikan di sekolah
2.        Sebagai bahan refrensi belajar bagi  penulis dan pembaca makalah ini dalam memahami contoh dari perubahan dan inovasi pendidikan dalam aspek manejemen dan pengololaan pendidikan khususnya di sekolah.
3.        Sebagai tugas mata kuliah pengenalan sekolah.






























BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pengertian menejemen berbasis sekolah (MBS)
Istilah manajemen berbasis sekolah merupakan terjemahan dari “school-based management”. MBS merupakan paradigma baru pendidikan, yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah ( pelibatan masyarakat ) dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional.
Menurut Edmond yang dikutip Suryosubroto merupakan alternatif baru dalam pengelolaan pendidikan yang lebih menekankan kepada kemandirian dan kreatifitas sekolah. Nurcholis mengatakan Manajemen berbasis sekolah (MBS) adalah bentuk alternatif sekolah sebagai hasil dari desentralisasi pendidikan.
Secara umum, manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah  (MPMBS) dapat diartikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara langsung semua  warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan, orang tua siswa, dan masyarakat) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional.
Lebih lanjut istilah manajemen sekolah acapkali disandingkan dengan istilah administrasi sekolah. Berkaitan dengan itu, terdapat tiga pandangan berbeda; pertama, mengartikan administrasi lebih luas dari pada manajemen (manajemen merupakan inti dari administrasi); kedua, melihat manajemen lebih luas dari pada administrasi (administrasi merupakan inti dari manajemen); dan ketiga yang menganggap bahwa manajemen identik dengan administrasi.
Dalam hal ini, istilah manajemen diartikan sama dengan istilah administrasi atau pengelolaan, yaitu segala usaha bersama untuk mendayagunakan sumber-sumber, baik personal maupun material, secara efektif dan efisien guna menunjang tercapainya tujuan pendidikan di sekolah secara optimal. Pengertian manajemen menurut Hasibuan merupakan ilmu dan seni mengatur proses pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-sumber lainnya secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan tertentu. Definisi manajemen tersebut menjelaskan pada kita bahwa untuk mencapai tujuan tertentu, maka kita tidak bergerak sendiri,  tetapi membutuhkan orang lain untuk bekerja sama dengan baik.
Berdasarkan fungsi pokoknya, istilah manajemen dan administrasi mempunyai fungsi yang sama, yaitu: merencanakan (planning), mengorganisasikan (organizing), mengarahkan (directing), mengkoordinasikan (coordinating), mengawasi (controlling), dan mengevaluasi (evaluation).
Menurut Gaffar (1989) mengemukakan bahwa manajemen pendidikan mengandung arti sebagai suatu proses kerja sama yang sistematik, sitemik, dan komprehensif dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Secara leksikal, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) berasal dari tiga kata, yaitu manajemen, berbasis, dan sekolah. Manajemen adalah proses menggunakan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran. Berbasis memiliki kata dasar basis yang berarti dasar atau asas. Sekolah adalah lembaga untuk belajar dan mengajar, serta tempat menerima dan memberikan pelajaran. Berdasarkan makna leksikal tersebut maka MBS dapat diartikan sebagai penggunaan sumber daya yang berasaskan pada sekolah itu sendiri dalam proses pengajaran atau pembelajaran.
Condoli memandang manajemen berbasis sekolah (MBS) sebagai alat untuk “menekan” sekolah mengambil tanggung jawab apa yang terjadi terhadap anak didiknya. Dengan kata lain, sekolah mempunyai kewenangan untuk mengembangkan program pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan anak didik di sekolah tersebut.
Sedangkan pengertian manajemen berbasis sekolah (MBS) menurut E. Mulyasa adalah pemberian otonomi luas pada tingkat sekolah agar sekolah leluasa mengelola sumber daya dan sumber dana dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan, serta lebih tanggap dengan kebutuhan setempat.
Dalam konteks manajemen menurut Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), berbeda dari manajemen pendidikan sebelumnya yang semua serba diatur dari pemerintah pusat. Sebaliknya, manajemen pendidikan model Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) ini berpusat pada sumber daya yang ada di sekolah itu sendiri. Dengan demikian, akan terjadi perubahan paradigma manajemen sekolah, yaitu yang semula diatur oleh birokrasi di luar sekolah menuju pengelolaan yang berbasis pada potensi internal sekolah itu sendiri.
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) memberikan kekuasaan yang luas hingga tingkat sekolah secara langsung. Dengan adanya kekuasaan pada tingkat lokal sekolah maka keputusan manajemen terletak pada stakeholder lokal, dengan demikian mereka diberdayakan untuk melakukan segala sesuatu yang berhubungan dengan kinerja sekolah. Dengan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) terjadi proses pengambilan keputusan kolektif ini dapat meningkatkan efektifitas pengejaran dan meningkatkan kepuasan guru.
Walaupun manajemen berbasis sekolah (MBS) memberikan kekuasaan penuh kepada sekolah secara individual, dalam proses pengambilan keputusan sekolah tidak boleh berada di satu tangan saja. Ketika manajemen berbasis sekolah (MBS) belum ditetapkan, proses pengambilan keputusan sekolah seringkali dilakukan sendiri oleh pihak sekolah secara internal yang dipimpin langsung oleh kepala sekolah. Namun, dalam kerangka manajemen berbasis sekolah (MBS) proses pengambilan keputusan mengikutkan partisipasi dari berbagai pihak baik internal, eksternal, maupun jajaran birokrasi sebagai pendukung. Dalam pengambilan keputusan harus dilakukan secara kolektif diantara stakeholder sekolah.
Manajemen berbasis sekolah (MBS) adalah bentuk alternatif sekolah sebagai hasil dari desentralisasi pendidikan. Manajemen berbasis sekolah (MBS) pada prinsipnya bertumpu pada sekolah dan masyarakat serta jauh dari birokrasi yang sentralistik. manajemen berbasis sekolah (MBS) berpotensi untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, pemerataan, efisiensi, serta manajemen yang bertumpu pada tingkat sekolah. Manajemen berbasis sekolah (MBS) dimaksudkan otonomi sekolah, menentukan sendiri apa yang perlu diajarkan, dan mengelola sumber daya yang ada untuk berinovasi. Manajemen berbasis sekolah (MBS) juga memiliki potensi yang besar untuk menciptakan kepala sekolah, guru, administrator yang professional. Dengan demikian, sekolah akan bersifat responsif terhadap kebutuhan masing-masing siswa dan masyarakat sekolah. Prestasi belajar siswa dapat dioptimalkan melalui partisipasi langsung orang tua dan masyarakat.

2.2  Tujuan menejemen berbasis sekolah (MBS)
Menurut Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, tujuan manajemen berbasis sekolah (MBS) dengan model MPMBS adalah pertama meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia. Kedua, meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama. Ketiga, meningkatkan tanggung jawab kepala sekolah kepada sekolahnya. Keempat, meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai. Selain itu, manajemen berbasis sekolah (MBS) memiliki potensi untuk meningkatkan prestasi siswa dikarenakan adanya peningkatan efisiensi penggunaan sumber daya dan personel, peningkatan profesionalisme guru, penerapan reformasi kurikulum serta meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam pendidikan.
Sedangkan E. Mulyasa menyebutkan tujuan utama manajemen berbasis sekolah (MBS) adalah meningkatkan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi diperoleh melalui keleluasaan mengelola sumber daya yang ada, partisipasi masyarakat, dan penyederhanaan birokrasi. Peningkatan mutu diperoleh melalui partisipasi orang tua, kelenturan pengelolaan sekolah, peningkatan profesionalisme guru, adanya hadiah dan hukuman sebagai kontrol, serta hal lain yang dapat menumbuh kembangkan suasana yang kondusif. Pemerataan pendidikan nampak pada tumbuhnya partisipasi masyarakat terutama yang mampu dan peduli, sementara yang kurang mampu akan menjadi tanggung jawab pemerintah.
Dari uraian tersebut menunjukkan bahwa manajemen berbasis sekolah (MBS) bertujuan untuk membuat sekolah dapat lebih mandiri dalam memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan (otonomi), fleksibilitas yang lebih besar terhadap sekolah dalam mengelola sumber daya dan mendorong partisipasi warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Sehingga secara garis besar tujuan  manajemen berbasis sekolah (MBS) adalah sebagai berikut :
a.         Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam megelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia;
b.         Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama;
c.         Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, masyarakat, dan pemerintah tentang mutu sekolahnya; dan
d.        Meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai.

2.3  Prinsip-prinsip  Manajemen berbasis sekolah (MBS)
Teori yang digunakan Manajemen berbasis sekolah (MBS) untuk mengelola sekolah didasarkan pada empat prinsip yaitu:
a.    Prinsip Ekuifinalitas (Principal of Equifinality)
Prinsip ini didasarkan pada teori manajemen modern yang berasumsi bahwa terdapat beberapa cara yang berbeda-beda untuk mencapai suatu tujuan. MBS menekankan fleksibilitas sehingga sekolah harus dikelola oleh warga sekolah menurut kondisi mereka masing-masing. Karena kompleknya pekerjaan sekolah saat ini dan adanya perbedaan yang besar antara sekolah yang satu dengan yang lain, misalnya perbedaan tingkat akademik siswa dan situasi komunitasnya, sekolah tak dapat dijalankan dengan struktur yang standar di seluruh kota, provinsi, apalagi negara. Sekolah harus mampu memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapinya dengan cara yang paling tepat dan sesuai dengan situasi dan kondisinya. Walaupun sekolah yang berbeda memiliki masalah yang sama, cara penanganannya akan berlainan antara sekolah yang satu dengan yang lain.
b.    Prinsip Desentralisasi (Principal of Decentralization)
Desentralisasi adalah gejala yang penting dalam reformasi manajemen sekolah modern. Prinsip desentralisasi ini konsisten dengan prinsip ekuifinalitas. Prinsip desentralisasi dilandasi oleh teori dasar bahwa pengelolaan sekolah dan aktifitas pengajaran tak dapat dielakkan dari kesulitan dan permasalahan. Pendidikan adalah masalah yang rumit dan kompleks sehingga memerlukan desentralisasi dalam pelaksanaannya.
Oleh karena itu, sekolah harus diberi kekuasaan dan tanggung jawab untuk memecahkan masalahnya secara efektif dan secepat mungkin ketika masalah itu muncul. Dengan kata lain, tujuan prinsip desentralisasi adalah efisiensi dalam pemecahan masalah, bukan menghindari masalah. Oleh karena itu MBS harus mampu menemukan masalah, memecahkannya tepat waktu dan memberi sumbangan yang lebih besar terhadap efektivitas aktivitas pengajaran dan pembelajaran. Tanpa adanya desentralisasi kewenangan kepada sekolah itu sendiri maka sekolah tidak dapat memecahkan masalahnya secara cepat, tepat, dan efisiensi.
c.    Prinsip Sistem Pengelolaan Mandiri (Principal of Self Managing System)
Prinsip ini terkait dengan prinsip sebelumnya, yaitu prinsip ekuifinalitas dan prinsip desentralisasi. Ketika sekolah menghadapi permasalahan maka harus diselesaikan dengan caranya sendiri. Sekolah dapat menyelesaikan masalahnya bila telah terjadi pelimpahan wewenang dari birokrasi diatasnya ke tingkat sekolah. Dengan adanya kewenangan di tingkat sekolah itulah maka sekolah dapat melakukan sistem pengelolaan mandiri.
d.   Prinsip Inisiatif Manusia (Principal of Human Initiative)
Prinsip ini mengakui bahwa manusia bukanlah sumber daya yang statis, melainkan dinamis. Oleh karena itu, potensi sumber daya manusia harus selalu digali, ditemukan, dan kemudian dikembangkan. Sekolah dan lembaga pendidikan yang lebih luas tidak dapat lagi menggunakan istilah staffing yang konotasinya hanya mengelolah manusia sebagai barang yang statis. Lembaga pendidikan harus menggunakan pendekatan human recources development yang memiliki konotasi dinamis dan menganggap serta memperlakukan manusia di sekolah sebagai aset yang amat penting dan memiliki potensi untuk terus dikembangkan.

2.4  Komponen dalam manajemen berbasis sekolah (MBS)
Manajemen sekolah pada hakikatnya mempunyai pengertian yang hampir sama dengan manajemen pendidikan. Ruang lingkup dan bidang kajian manajemen sekolah juga merupakan ruang lingkup dan bidang kajian manajemen pendidikan. Namun demikian, manajemen pendidikan mempunyai jangkauan yang lebih luas daripada manajemen sekolah. Dengan perkataan lain, manajemen sekolah merupakan bagian dari manajemen pendidikan, atau penerapan manajemen pendidikan dalam organisasi sekolah sebagai salah satu komponen dari sistem pendidikan yang berlaku. Manajemen sekolah terbatas pada salah satu sekolah saja, sedangkan manajemen pendidikan meliputi seluruh komponen sistem pendidikan, bahkan bisa menjangkau sistem yang lebih luas dan besar (suprasistem) secara regional, nasional, bahkan internasional.
Hal yang paling penting dalam implementasi Manajemen berbasis sekolah (MBS) adalah manajemen terhadap komponen-komponen sekolah itu sendiri. Sedikitnya terdapat tujuh komponen sekolah yang harus dikelola dengan baik dalam rangka manajemen berbasis sekolah (MBS), yaitu:
a.       Manajemen kurikulum dan program pengajaran
  1. Manajemen tenaga kependidikan
  2. Manajemen kesiswaan
  3. Manajemen keuangan dan pembiayaan
  4. Manajemen sarana dan prasarana pendidikan
  5. Manajemen hubungan sekolah dengan masyarakat
  6. Manajemen layanan khusus.
2.5  Konsep manajemen berbasis sekolah (MBS)
Dengan mengadopsi ide dasar Edward B. Fiska (1996) Nanang Fatah Manajemen berbasis sekolah (MBS) secara konsepsional akan membawa dampak terhadap peningkatan kinerja sekolah dalam hal mutu, efisiensi manajemen keuangan, pemerataan lewat perubahan kebijakan desentralisasi di berbagai aspek seperti politik, edukatif, administratif dan anggaran pendidikan.
Manajemen berbasis sekolah (MBS) selain akan meningkatkan kualitas belajar mengajar dan efisiensi operasional pendidikan, juga tujuan politik terutama iklim demokratisasi di sekolah. Nanang Fattah mengungkapkan keberhasilan manajemen berbasis sekolah (MBS) di Spanyol yaitu menciptakan kualitas manajemen dan pendidikan, sebagai strategi untuk memperbaiki kinerja sekolah yang mampu meningkatkan kemauan dan kemampuan kepala sekolah untuk memperbaiki proses belajar mengajar. Hal ini dipandang sebagai demokrasi di tingkat lokal sekolah.

2.6  Karakteristik manajemen sekolah (MBS)
Manajemen berbasis sekolah (MBS) yang ditawarkan sebagai bentuk operasional desentralisasi pendidikan akan memberikan wawasan baru terhadap system yang sedang berjalan selama ini. Hal ini diharapakan dapat membawa dampak tehadap peningkatan efisiensi dan efektifitas kinerja sekolah, dengan menyedikan layanan pendidikan yang komprehensif dan tanggap terhadap kebutuhan masyarakat sekolah sestempat.
Karakteristik manajemen berbasis sekolah (MBS) bisa diketahui antara lain dari bagaimana sekolah dapat mengoptimalkan kinerja organisasi sekolah, proses belajar mengajar, pengelolaan sumber daya manusia, dan pengelolaan sumber daya dan administrasi. Sejalan dengan itu, Saud (2002) berdasrakan pelaksanaan di Negara maju mengemukakan bahwa karakteristik dasar manajemen berbasis sekolah (MBS) adalah pemberian otonomi yang luas kepada sekolah, partisipasi masyarakat dan orang tua peserta didik yang tinggi. Kepemimpinan kepala sekolah yang demokratis dan professional, serta adanya team work yang tinggi dan professional.
1.          Pemberian otonomi luas kepada sekolah
Manajemen berbasis sekolah (MBS) memberikan otonomi luas kepada sekolah, diserati sepewrangkat tanggung jawab. Dengan adanya otonomi yang memberikan tanggung jawab pengelolaan sumber daya dan pengembangan strategi sesuia dengan kondisi setempat, sekolah dapat lebih memberdayakan tenaga kependidikan guru agar lebih berkonsentrasi pada tugas utamanya mengajar. Dealam apada itu, sekolah sebagai lembaga pendidikan diberi kewenangan dan kekuasaan yang luas untuk mengembangkan program-program kurikulum dan pembelajaran sesuai dengan kondisi dan kebutuhan peserta didik serta runtutan masyarakat. Untuk mendukung keberhasilan program tersebut, sekolah memiliki kekuasaan dan kewenangan mengelola dan memanfaatkan berbagai sumber daya yang tersedia di masyarakat dan lingkungan sekitar. Selain itu, sekolah juga diberikan kewenangan untuk menggali dan mengelola sumber dana sesuai dengan prioritas kebutuhan. Melalui otonomi ynag luas, sekolah dapat meningkatkan kinerja tenaga kependidikan dengan menawarkan pertisipasi aktif mereka dalam pengambilan keputusan dan tanggung jawab bersama dalam pelaksanaan keputusan ynag diambil secara proporsional dan professional.
2.          Partisipasi masyarakat dan orang tua
Dalam Manajemen berbasis sekolah (MBS) pelaksanaan program-program sekolah didukung oleh partisipasi masyarakat dan orang tua peserta didik yang tinggi. Orang tua peserta didik dan masyarakat tidak hanya mendukung sekolah melalui bantuan keuangan, tetapi melalui komite sekolah dan dewan pendidikan merumuskan serta mengembangkan program-program yang dapat meningkatkan kualitas sekolah. Masyarakat dan orang tua menjalin kerja sama untuk membantu sekolah sebagai narasumber berbagai kegiatan sekolah untuk meningkatkan kulaitas pembelajaran.
3.         Kepemimpinan yang demokratis dan professional
Dalam Manajemen berbasis sekolah (MBS), pelaksanaan program-progaram sekolah didukung oleh adanya kepemimpinan sekolah yang demokratis dan professional. Kepala sekolah dan guru-guru sebagai tenaga pelaksana inti program sekolah merupakan orang-orang yang memiliki kemampuan dan integritas professional. Kepala sekolah adalah manajer pendidikan professional yang direkrut komite sekolah untuk mengelola segala kegiatan sekolah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan. Guru-guru yang direkrut oleh sekolah adalah pendidik yang profesionala dalam bidangnya masing-masing, sehingga mereka bekerja berdasarkan pola kinerja professional yang disepakati bersama untuk memberi kemudahan dan mendukung keberhasilan pembelajaran peserta didik. Dalam proses pengambilan keputusan, kepala sekolah mengimplementasikan proses Bottom up secara demokratis, sehingga semua pihak memiliki tanggung jawab terhadap keputusan yang diambil beserta pelaksanaannya.
4.          Team work yang kompak dan transparan
Dalam Manajemen berbasis sekolah (MBS), keberhasilan program-program sekolah didukung oleh kinerja team work yang kompak dan transparan dari berbagai pihak yang terlibat dalam pendidikan di sekolah. Dalam dewan pendidikan dan komite sekolah misalnya, pihak-pihak yang terlibat bekerja sama secara harmonis sesuai dengan posisinya masing-masing untuk mewujudkan suatu “sekolah yang dapat dibanggakan” oleh semua pihak. Mereka tidak saling menunjukkan kuasa atau paling berjasa, tetapi masing-masing memberi kontribusi terhadap upaya peningkatan mutu dan kinerja sekolah secara kaffah.
Dalam pelaksanaan program misalnya, pihak-pihak terkait bekerja sama secara professional untuk mencapai tujuan-tujuan atau target yang disepakati bersama. Dengan demikian, keberhasilan manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan hasil sinergi (synergistic effect) dari kolaborasi team yang kompak dan transparan.
Dalam konsep manajemen berbasis sekolah (MBS) kekuasaan yang dimiliki sekolah mencakup pengambilan keputusan tentang manajamen kurikulum dan pembelajaran; rektutmen dan manajamen tenaga kependidikan serta manajemen keuangan sekolah. (Mulyasa, 2004: 38)
  
2.7  Penerapan Manajemen berbasis sekolah (MBS)
Sejak beberapa waktu terakhir, kita dikenalkan dengan pendekatan “baru” dalam manajemen sekolah yang diacu sebagai manajemen berbasis sekolah (school based management) atau disingkat MBS. Di Amerika Serikat, pendekatan ini sebenarnya telah berkembang cukup lama. Pada 1988 American Association of School Administrators, National Association of Elementary School Principals, and National Association of Secondary School Principals, menerbitkan dokumen berjudul school based management, a strategy for better learning. Munculnya gagasan ini dipicu oleh ketidakpuasan atau kegerahan para pengelola pendidikan pada level operasional atas keterbatasan kewenangan yang mereka miliki untuk dapat mengelola sekolah secara mandiri. Umumnya dipandang bahwa para kepala sekolah merasa tak berdaya karena terperangkap dalam ketergantungan berlebihan terhadap konteks pendidikan. Akibatnya, peran utama mereka sebagai pemimpin pendidikan semakin dikerdilkan dengan rutinitas urusan birokrasi yang menumpulkan kreativitas berinovasi.
Di Indonesia, gagasan penerapan pendekatan ini muncul belakangan sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah sebagai paradigma baru dalam pengoperasian sekolah. Selama ini, sekolah hanyalah kepanjangan tangan birokrasi pemerintah pusat untuk menyelenggarakan urusan politik pendidikan. Para pengelola sekolah sama sekali tidak memiliki banyak kelonggaran untuk mengoperasikan sekolahnya secara mandiri. Semua kebijakan tentang penyelenggaran pendidikan di sekolah umumnya diadakan di tingkat pemerintah pusat atau sebagian di instansi vertikal dan sekolah hanya menerima apa adanya.
Apa saja muatan kurikulum pendidikan di sekolah adalah urusan pusat, kepala sekolah dan guru harus melaksanakannya sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya. Anggaran pendidikan mengalir dari pusat ke daerah menelusuri saluran birokrasi dengan begitu banyak simpul yang masing-masing menginginkan bagian. Tidak heran jika nilai akhir yang diterima di tingkat paling operasional telah menyusut lebih dari separuhnya.
Kita khawatir, jangan-jangan selama ini lebih dari separuh dana pendidikan sebenarnya dipakai untuk hal-hal yang sama sekali tidak atau kurang berurusan dengan proses pembelajaran di level yang paling operasional, sekolah.
Manajemen berbasis sekolah (MBS) adalah upaya serius yang rumit, yang memunculkan berbagai isu kebijakan dan melibatkan banyak lini kewenangan dalam pengambilan keputusan serta tanggung jawab dan akuntabilitas atas konsekuensi keputusan yang diambil. Oleh sebab itu, semua pihak yang terlibat perlu memahami benar pengertian MBS, manfaat, masalah-masalah dalam penerapannya, dan yang terpenting adalah pengaruhnya terhadap prestasi belajar murid.
Manajemen berbasis sekolah dapat bermakna adalah desentralisasi yang sistematis pada otoritas dan tanggung jawab tingkat sekolah untuk membuat keputusan atas masalah signifikan terkait penyelenggaraan sekolah dalam kerangka kerja yang ditetapkan oleh pusat terkait tujuan, kebijakan, kurikulum, standar, dan akuntabilitas. Tampaknya pemerintah dari setiap negara ingin melihat adanya transformasi sekolah. Transformasi diperoleh ketika perubahan yang signifikan, sistematik, dan berlanjut terjadi, mengakibatkan hasil belajar siswa yang meningkat di segala keadaan (setting), dengan demikian memberikan kontribusi pada kesejahteraan ekonomi dan sosial suatu negara. Manajemen berbasis sekolah selalu diusulkan sebagai satu strategi untuk mencapai transformasi sekolah.
Manajemen berbasis sekolah telah dilembagakan di tempat-tempat seperti Inggris, dimana lebih dari 25.000 sekolah telah mempraktikkannya lebih dari satu dekade. Atau seperti Selandia Baru atau Victoria, Australia atau di beberapa sistem sekolah yang besar) di Kanada dan Amerika Serikat, dimana terdapat pengalaman sejenis selama lebih dari satu dekade. Praktik manajemen berbasis sekolah di tempat-tempat ini tampaknya tidak dapat dilacak mundur. Satu indikasi skala dan lingkup minat terhadap manajemen berbasis sekolah diagendakan pada Pertemuan Menteri-menteri Pendidikan dari Negara APEC di Chili pada April 2004. APEC (Asia Pacific Economic Cooperation) merupakan satu jejaring 21 negara yang mengandung sepertiga dari populasi dunia. Tema dari pertemuan adalah “mutu dalam pendidikan” dan tata kelola merupakan satu dari empat sub tema. Perhatian khusus diarahkan pada desentralisasi. Para menteri sangat menyarankan (endorse) manajemen berbasis sekolah sebagai satu strategi dalam reformasi pendidikan, tatapi juga menyetujui aspek-aspek sentralisasi, seperti kerangka kerja bagi akuntabilitas. Mereka mengakui bahwa pengaturannya akan bervariasi di masing-masing negara, yang merefleksikan keunikan tiap-tiap setting.
Manajemen berbasis sekolah memiliki banyak bayangan makna. Ia telah diimplementasikan dengan cara yang berbeda dan untuk tujuan berbeda dan pada laju yang berbeda di tempat yang berbeda. Bahkan konsep yang lebih mendasar dari “sekolah” dan “manajemen” adalah berbeda, seperti berbedanya budaya dan nilai yang melandasi upaya-upaya pembuat kebijakan dan praktisi. Akan tetapi, alasan yang sama di seluruh tempat dimana manajemen berbasis sekolah diimplementasikan adalah bahwa adanya peningkatan otoritas dan tanggung jawab di tingkat sekolah, tetapi masih dalam kerangka kerja yang ditetapkan di pusat untuk memastikan bahwa satu makna sistem terpelihara. Satu implikasi penting adalah bahwa para pemimpin sekolah harus memiliki kapasitas membuat keputusan terhadap hal-hal signifikan terkait operasi sekolah dan mengakui dan mengambil unsur-unsur yang ditetapkan dalam kerangka kerja pusat yang berlaku di seluruh sekolah.
Sejak awal, pemerintah (pusat dan daerah) haruslah suportif atas gagasan Manajemen berbasis sekolah (MBS). Mereka harus mempercayai kepala sekolah dan dewan sekolah untuk menentukan cara mencapai sasaran pendidikan di masing-masing sekolah. Penting artinya memiliki kesepakatan tertulis yang memuat secara rinci peran dan tanggung jawab dewan pendidikan daerah, dinas pendidikan daerah, kepala sekolah, dan dewan sekolah. Kesepakatan itu harus dengan jelas menyatakan standar yang akan dipakai sebagai dasar penilaian akuntabilitas sekolah. Setiap sekolah perlu menyusun laporan kinerja tahunan yang mencakup “seberapa baik kinerja sekolah dalam upayanya mencapai tujuan dan sasaran, bagaimana sekolah menggunakan sumber dayanya, dan apa rencana selanjutnya.”
Perlu diadakan pelatihan dalam bidang-bidang seperti dinamika kelompok, pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, penanganan konflik, teknik presentasi, manajemen stress, serta komunikasi antarpribadi dalam kelompok. Pelatihan ini ditujukan bagi semua pihak yang terlibat di sekolah dan anggota masyarakat, khususnya pada tahap awal penerapan Manajemen berbasis sekolah (MBS). Untuk memenuhi tantangan pekerjaan, kepala sekolah kemungkinan besar memerlukan tambahan pelatihan kepemimpinan. Dengan kata lain, penerapan MBS mensyaratkan yang berikut :
a.          Manajemen berbasis sekolah (MBS) harus mendapat dukungan staf sekolah.
b.         Manajemen berbasis sekolah (MBS) lebih mungkin berhasil jika diterapkan secara bertahap.
c.          Staf sekolah dan kantor dinas harus memperoleh pelatihan penerapannya, pada saat yang sama juga harus belajar menyesuaikan diri dengan peran dan saluran komunikasi yang baru.
d.         Harus disediakan dukungan anggaran untuk pelatihan dan penyediaan waktu bagi staf untuk bertemu secara teratur.
e.          Pemerintah pusat dan daerah harus mendelegasikan wewenang kepada kepala sekolah, dan kepala sekolah selanjutnya berbagi kewenangan ini dengan para guru dan orang tua murid.

2.8  Manajemen berbasis sekolah (MBS) yang berhubungan Prestasi Belajar Murid
MBS merupakan salah satu gagasan yang diterapkan untuk meningkatkan pendidikan umum. Tujuan akhirnya adalah meningkatkan lingkungan yang kondusif bagi pembelajaran murid. Dengan demikian, ia bukan sekadar cara demokratis melibatkan lebih banyak pihak dalam pengambilan keputusan. Keterlibatan itu tidak berarti banyak jika keputusan yang diambil tidak membuahkan hasil lebih baik.
Kita belum memiliki pengalaman untuk mengaitkan penerapan MBS dengan prestasi belajar murid. Di Amerika Serikat (David Peterson, ERIC_Digests, 2002) upaya mengaitkan MBS dengan prestasi belajar murid masih problematis. Belum banyak penelitian kuantitatif yang telah dilakukan dalam topik ini. Selain itu, masih diragukan apakah benar penerapan MBS berkaitan dengan prestasi murid. Boleh jadi masih banyak faktor lain yang mungkin mempengaruhi prestasi itu setelah diterapkannya MBS. Masalah penelitian ini makin diperparah dengan tiadanya definisi standar mengenai MBS. Studi yang dilakukan tidak selamanya mengindikasikan sejauh mana sekolah telah mendistribusikan kembali wewenangnya.
Salah satu studi yang dilakukan yang menelaah ratusan dokumen justru menunjukkan bahwa dalam banyak contoh, MBS tidak mencapai tujuan yang ditetapkan. Studi itu menunjukkan bahwa peningkatan prestasi murid tampaknya hanya terjadi di sejumlah sekolah yang dijadikan pilot studi dan dalam jangka waktu tidak lama pula.
Hasil MBS di daerah perkotaan masih belum jelas benar. Di sekolah di daerah pingiran kota Maryland menunjukkan adanya peningkatan prestasi murid dalam skor tes terutama di kalangan orang Amerika keturunan Afrika, setelah menerapkan lima langkah rencana reformasi, termasuk MBS. Namun, di tempat lain, seperti Dade County, Florida, setelah menerapkan MBS selama tiga tahun, prestasi murid di sekolah-sekolah dalam kota justru menurun.
Meskipun peningkatan skor tes mungkin dapat dipakai sebagai indikasi langsung kemampuan MBS meningkatkan prestasi belajar murid, cukup banyak pula bukti tidak langsung. Misalnya, sudi kasus yang dilakukan terhadap dua distrik sekolah di Kanada menunjukkan bahwa pengambilan keputusan yang didesentralisasikan menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih efektif. Salah seorang guru memutuskan untuk mengurangi penggunaan mesin fotokopi agar dapat mempekerjakan staf tambahan. Tinjauan tahunan sekolah menunjukkan bahwa kepuasan murid sekolah menengah pertama dan lanjutan meningkat terhadap banyak hal setelah diadakannya pembaruan. Para murid menunjukkan adanya peningkatan dalam bidang-bidang penting seperti kegunaan dan efektivitas mata pelajaran dan penekanan sekolah atas sejumlah kecakapan dasar.
Pengambilan keputusan bersama telah meningkatkan kejelasan guru tentang tujuan pengajaran serta metode yang pada gilirannya meningkatkan efektivitas pengajaran. MBS dipandang meningkatkan kepuasan kerja guru, khususnya ketika para guru memainkan peranan yang lebih menentukan ketimbang sekadar memberikan saran. Di Dade County, Florida, studi yang dilakukan menunjukkan bahwa tiga tahun penerapan MBS memberi kontribusi pada terciptanya lingkungan yang lebih nyaman dan lebih sedikit murid yang bermasalah.
Namun, survei yang dilakukan di Chicago menunjukkan bahwa MBS tidak selamanya popular di kalangan guru. Tiga perempat dari seratus orang guru yang disurvei menyatakan bahwa reformasi desentralisasi sekolah di Chicago telah gagal meningkatkan prestasi belajar murid, dan bahkan lebih banyak lagi responden yang menyangkal bahwa perubahan itu telah meningkatkan motivasi guru.
Studi-studi terkini (Caldwell & Hayward, 1998; Caldwell & Spinks, 1998; Fullan & Watson, 2000; Ouchi & Segal, 2003; Volansky & Friedman, 2003) telah menggarisbawahi pentingnya pembuatan keputusan setempat yang sejak awal tertuju pada belajar dan mengajar dan dukungan terhadap belajar dan mengajar, terutama dalam membangun kapasitas staf untuk mendesain dan menyampaikan kurikulum dan pembelajaran yang memenuhi kebutuhan siswa, dengan memperhatikan prioritas kebutuhan setempat, termasuk kemampuan mengidentifikasi kebutuhan dan memonitori keluaran. Juga terlihat pentingnya membangun kapasitas masyarakat untuk mendukung upaya sekolah. Dengan kata lain, penerapakn manajemen berbasis sekolah mungkin tidak berdampak pada belajar kecuali aturan-aturan ini, yang secara umum disebut peningkatan kapasitas dan pemanfaatan kapasitas, telah berhasil.
Di tingkat makro, studi internasional tentang prestasi siswa seperti TIMSS dan TIMSS-R dan PISA dan PISA telah mengkonfirmasi pentingnya keseimbangan antara sentralisasi dan desentralisasi, dengan manajemen berbasis sekolah relatif lebih tinggi sebagai satu unsur desentralisasi, termasuk pembuatan keputusan lokal menyangkut masalah personel, profesionalisme, monitoring keluaran, dan membangun dukungan masyarakat.
Hal-hal di atas mencerminkan pentingnya modal intelektual dan modal sosial dalam membangun satu sistem sekolah yang mengelola diri sendiri (self-managing school). Membangun modal intelektual merupakan contoh pengembangan kapasitas, yang dibahas lebih rinci pada proposisi 11. Modal sosial merujuk pada membangun hubungan yang saling mendukung di antara sekolah, rumah, masyarakat, lembaga keagamaan, dunia usaha dan industri, dan lembaga lain di sektor publik dan swasta.
Pengalaman menunjukkan bahwa, batapapun kuatnya kehendak strategis, diperluan waktu betahun-tahun agar pergeseran dalam keseimbangan antara sentralisasi dan desentralisasi memungkinkan desentralisasi berdampak pada keluaran. Ini merupakan pengesahan satu legislasi untuk pergeseran kewenangan, otoritas, tanggung jawab, dan pengaruh dari satu tingkat ke tingkat lain pergeseran itu merupakan perubahan dalam struktur. Pergeseran lain adalah membangun kapasitas agar diperoleh dampak yang diharapkan dari belajar dan mengubah kultur di semua tingkat.
Satu implikasi penting adalah, pemimpin sekolah harus memastikan bahwa dia dan koleganya memperbarui pengetahuan tentang praktik yang baik dalam peningkatan sekolah, dan bahwa membangun modal sosial dan intelektual merupakan inti pekerjaan pemimpin senior di sekolah.
Dalam praktik penerapannya di Amerika Serikat ada indikasi bahwa banyak kelemahan MBS dikarenakan penerapannya yang tidak komprehensif; artinya MBS diterapkan sepotong-sepotong. Para anggota dewan sekolah biasanya dikendalikan oleh kepala sekolah, sedangkan pihak-pihak lain tidak banyak berperan. Pola lama di mana administrator pendidikan menetapkan kebijakan, guru mengajar, dan orang tua mendukung tampaknya masih dipertahankan. Pola yang tertanam kuat ini sukar ditanggulangi. Apabila para anggota dewan tidak disiapkan dengan baik, mereka seringkali sangat bingung dan cemas untuk mengemban tanggung jawabnya yang baru.
Ada juga Tim MBS hanya berkonsentrasi pada hal-hal di luar kegiatan pembelajaran. Pengamatan penerapan MBS menunjukkan bahwa dewan sekolah cenderung memusatkan perhatian pada kegiatan-kegiatan-kegiatan seperti penghargaan dan pendisiplinan murid ketimbang pada pengajaran dan kurikulum. Selain itu, ada pula indikasi bahwa MBS membuat kepala sekolah menjadi lebih berminat dengan hal-hal teknis administratif dengan mengorbankan aspek pembelajaran. Dengan kata lain, peran kepemimpinan pendidikannya diabaikan.
Namun, kekurang pedulian terhadap proses pembelajaran di dalam kelas bukanlah penyakit bawaan MBS. Tim MBS tidak dapat dipersalahkan karena tidak berhasil mendongkrak skor tes murid jika mereka tidak mendapat kewenangan untuk melakukan hal itu. Misalnya, pengamatan di Chicago menunjukkan bahwa wewenang pendidikan sebagian besar telah didelegasikan kepada orang tua dan anggota masyarakat lainnya. Selain itu, tidaklah fair untuk mengharapkan adanya dampak atas suatu reformasi pendidikan di daerah pinggiran kota besar yang telah porak-poranda oleh seringnya terjadi kasus-kasus kebrutalan, kejahatan, dan kemiskinan.

2.9  Upaya agar  Manajemen berbasis sekolah (MBS)Meningkatkan Prestasi Belajar
MBS tidak boleh dinyatakan gagal sebelum memperoleh kesempatan yang adil untuk diterapkan. Banyak program yang tidak berkonsentrasi pada prestasi pendidikan, dan banyak pula yang merupakan variasi dari model hierarkis tradisional ketimbang penataan ulang wewenang pengambilan keputusan secara aktual. Pengalaman penerapan di negara lain menunjukkan bahwa daerah yang benar-benar mendelegasikan wewenang secara substansial kepada sekolah cenderung memiliki pimpinan yang mendukung eksperimentasi dan yang memberdayakan pihak lain.
 Ada indikasi bahwa pembaruan yang berhasil juga mengharuskan adanya jaringan komunikasi, komitmen finansial terhadap pertumbuhan profesional, dukungan dari semua komponan komunitas sekolah. Selain itu, pihak yang terlibat harus benar-benar mau dan siap memikul peran dan tanggung jawab baru. Para guru harus disiapkan memikul tanggung jawab dan menerima kewenangan untuk berinisiatif meningkatkan pembelajaran dan bertanggung jawab atas kinerja mereka.
Penerapan MBS yang efektif seyogyanya dapat mendorong kinerja kepala sekolah dan guru yang pada gilirannya akan meningkatkan prestasi murid. Oleh sebab itu, harus ada keyakinan bahwa MBS memang benar-benar akan berkontribusi bagi peningkatan prestasi murid. Ukuran prestasi harus ditetapkan multidimensional, jadi bukan hanya pada dimensi prestasi akademik. Dengan taruhan seperti itu, daerah-daerah yang hanya menerapkan MBS sebagai mode akan memiliki peluang yang kecil untuk berhasil.
Pertanyaannya, sudahkan daerah siap melaksanakan MBS? Penulis khawatir tidak banyak daerah di Indonesia yang benar-benar siap menerapkan MBS. Masih terlalu banyak hambatan yang harus ditanggulangi sebelum benar-benar menetapkan MBS sebagai model untuk melakukan perubahan.
Manajemen berbasis sekolah telah menimbulkan perdebatan karena berbagai kekuatan pendorong telah membentuk kebijakan, dan kekuatan-kekuatan ini telah tercermin atau diduga mencerminkan preferensi politik atau orientasi ideologi. Manajemen berbasis sekolah yang digerakkan oleh kepedulian terhadap pemberdayaan masyarakat dan peningkatan profesi sering diasosiasikan dengan pemerintahan Pusat.
 Manajemen berbasis sekolah telah digerakkan oleh kepentingan untuk memberikan kebebasan yang lebih besar atau lebih banyak diferensiasi sering diasosiasikan dengan pemerintahan Daerah, manajemen berbasis sekolah yang telah digerakkan, dimana manajemen berbasis sekolah sering dipandang sebagai manifestasi dari upaya menciptakan satu pasar di antara sekolah dalam sistem pendidikan umum.
Manajemen berbasis sekolah sering menimbulkan perdebatan pada tahap-tahap awal pengadopsian, tetapi ia terus diterima setelah beberapa waktu, sedemikian rupa sehingga hanya sedikit pemangku kepentingan ingin kembali pada pendekatan yang lebih sentralistik dalam mengelola sekolah.
Akan tetapi ada pengecualian penting, terutama mengenai kasus di Hong Kong – Cina. School Management Initiative (SMI) merupakan inisitatif manajemen berbasis sekolah mulai awal 1990-an. Tetapi pelaksanaannya lambat, terutama pada sektor yang dibantu, dimana banyak orang berpendapat bahwa SMI menghambat ketimbang memberdayakan. Leung (2003) menyimpulkan bahwa “tujuan reformasi desentralisasi oleh pemerintah adalah memperkuat kendali dan memastikan mutu pendidikan melalui teknik-teknik manajemen. Yaitu bahwa ‘mutu’ diartikan dalam hal penggunaan sumber daya yang lebih efisien, asesmen keluaran (outcome), indikator kinerja, dan evaluasi eksternal. Bukan pembagian kewenangan ataupun pemberdayaan stakeholder menjadi tujuan”. Reformasi tetap menjadi perdebatan di Hong Kong.
Dalam analisis terakhir, meskipun ada kekuatan pendorong yang lain, kriteria kritis untuk menilai efektivitas reformasi yang mencakup manajemen berbasis sekolah adalah sejauh mana manajemen berbasis sekolah mengarah pada atau berhubungan dengan pencapaian hasil belajar yang membaik, termasuk prestasi siswa ke tingkat yang lebih tinggi, bagaimana pun mengukurnya.
Belakangan banyak terjadi perubahan dalam pandangan bahwa tujuan utama manajemen berbasis sekolah adalah peningkatan hasil pembelajaran, dan untuk alasan inilah, kebanyakan pemerintahan memasukkan manajemen berbasis sekolah dalam kebijakan bagi reformasi pendidikan.
Satu implikasi penting adalah bahwa pemimpin sekolah harus memastikan bahwa perhatian masyarakat sekolah (termasuk tenaga kependidikan) tidak hentinya difokuskan pada hasil belajar siswa, dan ini harus menjadi kepedulian utama meskipun makna manajemen berbasis sekolah sangat sering menimbulkan perdebatan.
Para pengeritik sering mengutip temuan ini. Akan tetapi banyak dari penelitian terdahulu hanya mengambil informasi atau opini dari sistem dimana dampak dari keluaran tidak pernah menjadi tujaun utama, atau bahkan tujuan kedua.
Hal ini terutama berlaku bila manajemen berbasis sekolah diimplementasikan sebagai satu strategi untuk membongkar birokrasi pusat yang besar, mahal, dan tidak responsif atau sebagai satu strategi untuk memberdayakan masyarakat dan profesional. Bahkan ketika dampak atas keluaran menjadi tujuan utama, sulit menarik kesimpulan terhadap dampak karena database tentang prestasi siswa lemah.
Satu telaah terhadap penelitian (Caldwell, 2002) menunjukkan bahwa telah ada tiga generasi studi, dan justeru pada studi generasi ketiga bahwa bukti dampak pada hasil ditemukan, tetapi hanya bila kondisi-kondisi tertentu dipenuhi. Generasi pertama adalah saat di mana dampak atas hasil tidak menjadi tujuan utama atau kedua. Generasi kedua adalah ketika dampak menjadi tujuan utama atau kedua tetapi database lemah. Ketiga, muncul pada akhir 1990-an dan dengan mengumpulnya momentum awal 2000-an, yang berbarengan dengan kepedulian terhadap hasil belajar dan pengembangan database yang kuat.
Satu implikasi penting adalah, para pemimpin sekolah harus sadar bahwa manajemen-diri tidaklah selalu berdampak pada hasil belajar siswa dan mereka harus melakukan setiap upaya untuk menjamin bahwa ada mekanisme untuk menghubungkan manajemen dengan beberapa area dalam pelaksanaan sekolah.
Hasil penelitian tentang dampak penerapan MBS terhadap mutu pendidikan ternyata sangat bervariasi. Ada penelitian yang menyatakan negatif. Ada yang kosong-kosong. Ada pula yang positif.
Penelitian yang dilakukan oleh Leithwood dan Menzies (1998a) dengan 83 studi empirikal tentang MBS menyatakan bahwa penerapan MBS terhadap mutu pendidikan ternyata negatif, “there is virtually no firm”. Fullan (1993) juga menyatakan kesimpulan yang kurang lebih sama. “There is also no doubt that evidence of a direct cause-and-effect relationship between self-management and improved outcomes is minimal”. Tidak diragukan lagi bahwa hubungan sebab akibat hubungan antara MBS dengan peningkatan mutu hasil pendidikan adalah minimal. Hal ini dapat dimengerti karena penerapan MBS tidak secara langsung terkait dengan kejadian di ruang kelas.
Sebaliknya, Gaziel (1998) menyimpulkan hasil penelitian di sekolah-sekolah Esrael bahwa ”greater school autonomy has a positive impact on teacher motivation and commitment and on the school’s achievement”.
Pemberian otonomi yang lebih besar kepada sekolah telah mempunyai dampak positif terhadap motivasi dan komitmen guru dan terhadap keberhasilan sekolah. Hasil penelitan William (1997) di Kerajaan Inggris dan New Zealand menunjukkan bahwa “the increase decision-making power of principals has allowed them to introduce innovative programs and practices”. Peningkatan kemampuan kepala sekolah dalam pengambilan keputusan telah membuat memperkenalkan program dan praktik (penyelenggaraan pendidikan) yang inovatif. Geoff Spring, arsitek reformasi di Australia Selatan dan Victoria menyatakan bahwa “school-based management has led to higher student achievement” De Grouwe (1999).
Hal yang menggembirakan juga dinyatakan oleh King dan Ozler (1998) menyatakan bahwa “enhanced community and parental involvement in EDUCO schools has improved students language skills and diminished absenteeism”. Jemenez dan Sawada (1998) menyimpulkan bahwa pelibatan masyarakat dan orangtua siswa mempunyai dampak jangka panjang dalam peningkatan hasil belajar.

2.10          Strategi peningkatan mutu pendidikan melalui Manajemen berbasis sekolah (MBS)
Konsep MBS merupakan kebijakan baru yang sejalan dengan paradigma desentraliasi dalam pemerintahan. Strategi apa yang diharapkan agar penerapan MBS dapat benar-benar meningkatkan mutu pendidikan. Salah satu strategi adalah menciptakan prakondisi yang kondusif untuk dapat menerapkan MBS, yakni:
a.       Peningkatan kapasitas dan komitmen seluruh warga sekolah, termasuk masyarakat dan orangtua siswa. Upaya untuk memperkuat peran kepala sekolah harus menjadi kebijakan yang mengiringi penerapan kebijakan MBS. ”An essential point is that schools and teachers will need capacity building if school-based management is to work”. Demikian De grouwe menegaskan.
b.      Membangun budaya sekolah (school culture) yang demokratis, transparan, dan akuntabel. Termasuk membiasakan sekolah untuk membuat laporan pertanggungjawaban kepada masyarakat. Model memajangkan RAPBS di papan pengumuman sekolah yang dilakukan oleh Managing Basic Education (MBE) merupakan tahap awal yang sangat positif. Juga membuat laporan secara insidental berupa booklet, leaflet, atau poster tentang rencana kegiatan sekolah. Alangkah serasinya jika kepala sekolah dan ketua Komite Sekolah dapat tampil bersama dalam media tersebut.
c.       Pemerintah pusat lebih memainkan peran monitoring dan evaluasi. Dengan kata lain, pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu melakukan kegiatan bersama dalam rangka monitoring dan evaluasi pelaksanaan MBS di sekolah, termasuk pelaksanaan block grant yang diterima sekolah.
d.      Mengembangkan model program pemberdayaan sekolah. Bukan hanya sekedar melakukan pelatihan MBS, yang lebih banyak dipenuhi dengan pemberian informasi kepada sekolah. Model pemberdayaan sekolah berupa pendampingan atau fasilitasi dinilai lebih memberikan hasil yang lebih nyata dibandingkan dengan pola-pola lama berupa penataran MBS.
Kepemimpinan kepala sekolah yang efektif dalam MBS dapat dilihat berdasarkan kriteria berikut:
1.      Mampu memberdayakan guru-guru untuk melaksanakan proses pembelajaran dengan baik, lancar, dan produktif.
2.      Dapat menyelesaikan tugas dan pekerjaan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan.
3.      Mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan masyarakat sehingga dapat melibatkan mereka secara aktif dalam rangka mewujudkan tujuan sekolah dan pendidikan.
4.      Berhasil menerapkan prinsip kepemimpinan yang sesuai dengan tingkat kedewasaan guru dan pegawai lain disekolah.
5.      Bekerja dengan tim manajemen
6.      Berhasil mewujudkan tujuan sekolah secara produktif sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
   
2.11          Hambatan-hambatan dalam Manajemen berbasis sekolah (MBS)
Beberapa hambatan yang mungkin dihadapi pihak-pihak berkepentingan dalam penerapan Manajemen berbasis sekolah (MBS) adalah sebagai berikut :
a.         Tidak Berminat Untuk Terlibat
Sebagian orang tidak menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang sekarang mereka lakukan. Mereka tidak berminat untuk ikut serta dalam kegiatan yang menurut mereka hanya menambah beban. Anggota dewan sekolah harus lebih banyak menggunakan waktunya dalam hal-hal yang menyangkut perencanaan dan anggaran. Akibatnya kepala sekolah dan guru tidak memiliki banyak waktu lagi yang tersisa untuk memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Tidak semua guru akan berminat dalam proses penyusunan anggaran atau tidak ingin menyediakan waktunya untuk urusan itu.
b.         Tidak Efisien
Pengambilan keputusan yang dilakukan secara partisipatif adakalanya menimbulkan frustrasi dan seringkali lebih lamban dibandingkan dengan cara-cara yang otokratis. Para anggota dewan sekolah harus dapat bekerja sama dan memusatkan perhatian pada tugas, bukan pada hal-hal lain di luar itu.
c.         Pikiran Kelompok
Setelah beberapa saat bersama, para anggota dewan sekolah kemungkinan besar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak positif karena mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena tidak merasa enak berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada saat inilah dewan sekolah mulai terjangkit “pikiran kelompok.” Ini berbahaya karena keputusan yang diambil kemungkinan besar tidak lagi realistis.
d.        Memerlukan Pelatihan
Pihak-pihak yang berkepentingan kemungkinan besar sama sekali tidak atau belum berpengalaman menerapkan model yang rumit dan partisipatif ini. Mereka kemungkinan besar tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang hakikat Manajemen berbasis sekolah (MBS) sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya, pengambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya.
e.         Kebingungan Atas Peran dan Tanggung Jawab Baru
Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar telah sangat terkondisi dengan iklim kerja yang selama ini mereka geluti. Penerapan Manajemen berbasis sekolah (MBS) mengubah peran dan tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan yang mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan kejutan dan kebingungan sehingga mereka ragu untuk memikul tanggung jawab pengambilan keputusan.
f.          Kesulitan Koordinasi
Setiap penerapan model yang rumit dan mencakup kegiatan yang beragam mengharuskan adanya koordinasi yang efektif dan efisien. Tanpa itu, kegiatan yang beragam akan berjalan sendiri ke tujuannya masing-masing yang kemungkinan besar sama sekali menjauh dari tujuan sekolah.

Apabila pihak-pihak yang berkepentingan telah dilibatkan sejak awal, mereka dapat memastikan bahwa setiap hambatan telah ditangani sebelum penerapan MBS. Dua unsur penting adalah pelatihan yang cukup tentang MBS dan klarifikasi peran dan tanggung jawab serta hasil yang diharapkan kepada semua pihak yang berkepentingan. Selain itu, semua yang terlibat harus memahami apa saja tanggung jawab pengambilan keputusan yang dapat dibagi, oleh siapa, dan pada level mana dalam organisasi.
Anggota masyarakat sekolah harus menyadari bahwa adakalanya harapan yang dibebankan kepada sekolah terlalu tinggi. Pengalaman penerapannya di tempat lain menunjukkan bahwa daerah yang paling berhasil menerapkan Manajemen berbasis sekolah (MBS) telah memfokuskan harapan mereka pada dua maslahat: meningkatkan keterlibatan dalam pengambilan keputusan dan menghasilkan keputusan lebih baik.

2.12          Keuntungan dan manfaat dari Manajemen berbasis sekolah (MBS)
Kewenangan yang bertumpu pada sekolah merupakan inti dari Manajemen berbasis sekolah (MBS) yang dipandang memiliki tingkat efektivitas tinggi serta memberikan beberapa keuntungan berikut:
a.         Kebijaksanaan dan kewenangan sekolah membawa pengaruh langsung kepada peserta didik, orang tua, dan guru.
b.         Bertujuan bagaimana memanfaatkan sumber daya lokal.
c.         Efektif dalam melakukan pembinaan peserta didik seperti kehadiran, hasil belajar, tingkat pengulangan, tingkat putus sekolah, moral guru, dan iklim sekolah.
d.        Adanya perhatian bersama untuk mengambil keputusan, memberdayakan guru, manajemen sekolah, rancangan ulang sekolah, dan perubahan perencanaan.

Adapun manfaat yang diperoleh dari manajemen berbasis sekolah (MBS) adalah :
a.         Dengan kondisi setempat, sekolah dapat meningkatkan kesejahteraan guru sehingga dapat lebih berkonsentrasi pada tugasnya;
b.         Keleluasaan dalam mengelola sumberdaya dan dalam menyertakan masyarakat untuk berpartisipasi, mendorong profesionalisme kepala sekolah, dalam peranannya sebagai manajer maupun pemimpin sekolah;
c.         Guru didorong untuk berinovasi;
d.        Rasa tanggap sekolah terhadap kebutuhan setempat meningkat dan menjamin layanan pendidikan sesuai dengan tuntutan masyarakat sekolah dan peserta didik.

2.13          Kepemimpinan dalam menejemen berbasis sekolah (MBS)
1.      Pengertian
a.       Menurut Sutisna, kepemimpinan adalah proses mempengaruhi kegiatan seseorang atau kelompok dalam usaha ke arah pencapaian tujuan dalam situasi tertentu.
b.       Menurut Soepardi, kepemimpinan adalah kemampuan untuk menggerakkan, mempengaruhi, memotivasi, mengajak, mengarahkan, menasehati, membimbing, menyuruh, memerintah, melarang, dan bahkan menghukum (kalau perlu) serta membina dengan maksud agar manusia sebagai media manajemen mau bekerja dalam rangka mencapai tujuan administrasi secara efektif dan efisien.
2.      Gaya Kepemimpinan
Adalah cara yang digunakan pemimpin dalam mempengaruhi para pengikutnya. Thoha mengartikan sebagai norma perilaku yang digunakan seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain seperti yang ia lihat.
a.       Pendekatan Sifat
Menurut Sutisna, pada pendekatan terdapat sifat-sifat tertentu, seperti kekuatan fisik atau keramahan yang esensil pada kepemimpinan yang efektif. Pendekatan ini menyarankan beberapa syarat yang harus dimiliki pemimpin yaitu : (a) kekuatan fisik dan susunan syaraf; (b) penghayatan terhadap arah dan tujuan; (c) antusiasme; (d) keramah tamahan; (e) integritas; (f) keahlian teknis; (g) kemampuan mengambil keputusan; (h) inteligensi; (i) keterampilan memimpin; (j) ketrampilan memimpin; (k) kepercayaan. Namun sayangnya, pendekatan ini tidak mampu menjawab pertanyaan di sekitar kepemimpinan.
b.      Pendekatan Perilaku
1.      Studi Kepemimpinan Universitas OHIO
Ada 2 dimensi utama dari perilaku pemimpin, yaitu pembuatan inisiatif (initiating structure) dan perhatian (consideration). Inisiatif, artinya pemimpin memberi batasan dan struktur terhadap peranannya dan peran bawahannya untuk mencapai tujuan. Konsiderasi, diartikan derajat dan corak hubungan seorang pemimpin dengan bawahannya yang ditandai saling percaya, menghargai dan menghormati dengan bawahannya. Kombinasi 2 dimensi tersebut akan menghasilkan 4 gaya kepemimpinan.
2.      Studi Kepemimpinan Universitas Michigan
Hersey & Blanchard mengidentifikasi dua konsep, yaitu bawahan dan produksi. Pemimpin yang menekankan pada orientasi bawahan menganggap setiap karyawan penting dan menerimanya sebagai pribadi. Sedangkan pemimpin yang menekankan pada orientasi produksi dan aspek kerja, bawahan dianggap sebagai alat untuk mencapai tujuan organisasi. Ini sama dengan tipe otoriter (task) dan demokrasi (relationship).
3.      Jaringan Manajemen (Managerial Grid)
Dikembangkan oleh Blake & Mouton, menurut mereka manajemen berhubungan dengan 2 hal, yaitu (a) perhatian menekankan pada produksi / tugas : menekankan mutu pelayanan staf, efisiensi kerja, dan jumlah pengeluaran ; (b) perhatian pada orang – orang : memperlihatkan keterlibatan anak buah untuk mencapai tujuan (aspek yang menyangkut harga diri anak buah, tanggung jawab berdasarkan kepercayaan, suasana kerja yang menyenangkan, dan hubungan yang harmonis).
4.      Sistem Kepemimpinan Likert
Ia mengembangkan teori kepemimpinan dua dimensi, yaitu orientasi tugas dan individu. Ia merancang 4 sistem kepemimpinan sebagai berikut :
a) Sistem 1 : sangat otokratis →kepercayaan pada bawahan sedikit, suka mengeksploitasi bawahan, bersikap paternalistic, memotivasi dengan ketakutan dan hukuman, penghargaan diberikan secara kebetulan (occasional rewards), komunikasi turun ke bawah serta membatasi pengambilan keputusan di tingkat atas.
b) Sistem 2 : otokratis baik hati (Benevolent Authoritative) → kepercayaan terselubung, percaya pada bawahan, mau memotivasi dengan hadiah dan ketakutan berikut hukuman, membolehkan adanya komunikasi ke atas, mendengarkan pendapat / ide dari bawahan, dan membolehkan delegasi wewenang dalam proses keputusan.
c) Sistem 3 : Manajer konsultatif → sedikit kepercayaan pada bawahan, mau melakukan motivasi dengan penghargaan dan hukumanyang kebetulan dan berkehendak melakukan partisipasi, hubungan komunikasi ke atas dan ke bawah, membuat keputusan dan kebijakan yang luas pada tingkat atas, tetapi keputusan mengkhususkan pada tingkat bawah.
d) Sistem 4 : Partisipatif (Partisipative Group) → kepercayaan yang sempurna terhadap bawahan, mengandalkan bawahan untuk mendapatkan ide / pendapat serta mempunyai niat untuk menggunakan pendapat bawahan secara konstruktif, penghargaan bersifat ekonomis berdasarkan partisipasi kelompok dan keterlibatannya pada setiap urusan, mendorong untuk ikut tanggung jawab buat keputusan dan melaksanakan keputusan dengan tanggung jawab yang benar.
c.       Pendekatan Situasional
Teori Kepemimpinan Kontingensi
Menurut Fiedler & Chemers, menjadi pemimpin bukan karena faktor kepribadian tetapi karena berbagai faktor situasi (saling berhubungan antara pemimpin dengan situasi). Tiga faktor yang harus diperhatikan yaitu hubungan antara pemimpin dengan bawahan, struktur tugas, dan kekuasaan yang berasal dari organisasi. Dua jenis gaya kepemimpinan dan dua tingkat yang menyenangkan adalah mengutamakan tugas dan hubungan kemanusiaan.
Teori Kepemimpinan Tiga Dimensi (Reddin, dari Universitas New Brunswick, Canada)
Menurutnya ada 3 dimensi yang dipakai untuk menentukan gaya kepemimpinan, yaitu perhatian pada produksi/tugas, perhatian pada orang, dimensi efektifitas. Ini sama dengan jaringan manajemen yang memiliki 4 dasar kepemimpinan yaitu integrated, related, separated, dan dedicated. Apabila dilihat dari segi efektif dan tidak efektif akan menjadi 7 gaya kepemimpinan, yaitu :
·         Gaya integrated, dikembangkan secara efektif → Gaya eksekutif.
·         Gaya integrated, dikembangkan tidak efektif → Gaya compromiser.
·         Gaya separated, dikembangkan secara efektif → Gaya bureaucrat.
·         Gaya separated, dikembangkan tidak efektif → Gaya deserter.
·         Gaya dedicated, dikembangkan secara efektif → Gaya benevolent authocrat.
·         Gaya related, dikembangkan secara efektif → Gaya developer.
·         Gaya related, dikembangkan tidak efektif → Gaya missionary.

Yang termasuk gaya efektif yaitu (a) executive : perhatian pada tugas maupun hubungan kerja dalam kelompok; (b) developer : perhatian tinggi terhadap hubungan kerja dalam kelompok dan perhatian minim terhadap tugas dan pekerjaan; (c) benevolent authocrat : perhatian tinggi terhadap tugas dan rendah dalam hubungan kerja; (d) birokrat : perhatian rendah terhadap tugas maupun hubungan. Sedangkan gaya tidak efektif yaitu (a) compromiser : perhatian tinggi pada tugas maupun hubungan kerja; (b) missionary : perhatian tinggi pada hubungan kerja dan rendah pada tugas; (c) autocrat : perhatian tinggi pada tugas dan rendah pada hubungan; (d) deserter perhatian rendah pada tugas dan hubungan kerja.

Teori Kepemimpinan Situasional
Teori ini di dasarkan pada hubungan 3 faktor, yaitu perilaku tugas (Task behavior) yang merupakan pemberian petunjuk, perilaku hubungan (Relationship behavior) adalah ajakan melalui komunikasi zarah, serta kematangan (Maturity) yang merupakan kemampuan dan kemauan anak buah dalam mempertanggung jawabkan. Kematangan (maturity) merupakan factor dominan.
Menurut teori ini, gaya yang tepat untuk diterapkan adalah : (a) Gaya mendikte (Telling) : diterapkan pada anak buah dengan tingkat kematangan rendah; (b) Menjual (Selling) : diterapkan pada anak buah taraf rendah hingga moderat; (c) Melibatkan diri (Participating) : diterapakan pada anak buah moderat hingga tinggi; (d) Mendelegasikan (Delegating) : diterapkan pada anak buah yang memiliki kemampuan dan kemauan tinggi.
3.      Kepemimpinan Dalam Peningkatan Kinerja
a.       Pembinaan disiplin (self-disipline)
Disiplin merupakan sesuatu yang penting untuk menanamkan rasa hormatterhadap kewenangan, menanamkan kerja sama dan merupakan kebutuhan untuk berorganisasi serta untuk menanamkan rasa hormat terhadap orang lain. Soelaeman mengemukakan bahwa pemimpin berfungsi sebagai pengemban ketertiban yang patut diteladani, tetapi tidak di harapkan sikap yang otooriter. Taylor dan User, strategi umum membina disiplin antara lain :
·         Konsep diri : faktor penting setiap perilaku. Untuk menumbuhkan, pemimpin bersikap empatik, menerima, hangat dan terbuka sehingga pegawai dapat mengeksplorasi pikiran dan perasaannya dalam memecahkan masalah.
·         Ketrampilan berkomunikasi : pemimpin harus menerima semua perasaan pegawai dengan teknik komunikasi yang dapt menimbulkan kepatuhan dari dalam dirinya.
·         Konsekuensi logis dan alami.
·         Klarifikasi nilai : membantu pegawai menjawab pertanyaan sendiri tentang nilai dan membentuk sistem nilai sendiri.
·         Latihan keefektifan pemimpin : tujuannya untuk menghilangkan metode represif dan kekuasaan.
·         Terapi realitas : pemimpin bersikap positif dan tanggung jawab untuk menerapkan perlu melihat situasi dan paham faktor yang mempengaruhi.
b.      Pembangkitan motivasi
Merupakan faktor dominan kearah efektivitas kerja. Menurut Maslow, motivasi adalah tenaga pendorong dari dalam yang menyebabkan manusia berbuat sesuatu atau berusaha untuk memenuhi kebutuhannya. Ada 2 jenis motivasi menurut Owen, yaitu instrinsik dan ekstrinsik. Motivasi instrinsik adalah motivasi yang dating dari dalam diri seseorang, sedangkan ekstrinsik adalah motivasi yang berasal dari luar diri seseorang. Istilah motivasi sering digunakan secara bergantian dengan istilah kebutuhan (need), keinginan (want), dorongan (drive), dan gerak hati (impuls). Berikut ini adalah teori – teori motivasi :
a)      Teori Maslow : teori hierarkhi kebutuhan
Maslow membagi kebutuhan manusia dalam 5 kategori :
·         Kebutuhan fisiologis (psysiological needs) : merupakan kebutuhan paling rendah, memerlukan pemenuhann yang paling mendesak (contoh: makanan, minuman).
·         Kebutuhan rasa aman (safety needs) : memperoleh ketentraman, kepastian dan keteraturan dari keadaan lingkungan (contoh : pakaian, rumah)
·         Kebutuhan kasih sayang (belongingness & love needs) : mengadakan hubungan afektif / ikatan emosional dengan individu lain, sesame jenis maupun lain jenis.
·         Kebutuhan akan rasa harga diri (esteem needs) : penghargaan dari diri sendiri dan dari orang lain.
·         Kebutuhan akan aktualisasi diri (need for self actualization) : kebutuhan paling tinggi, akan muncul jika kebutuhan di bawahnya terpenuhi.
b)      Teori Dua Faktor
Dikembangkan oleh Fredrick Herzberg. Dia berpendapat ada dua factor penting, yaitu hygiene (lingkungan) dan motivator (pekerjaan itu sendiri). Faktor hygiene bersifat preventif terhadap ketidakpuasan dan tidak memotivasi karyawan dalam bekerja.
c)      Teori Alderter
Alderter membedakan 3 kelompok kebutuhan, yaitu kebutuhan akan keberadaan (existence), kebutuhan berhubungan (relatedness), dan kebutuhan untuk bertumbuh (growth need).
d)     Teori Prestasi McCelland
McCelland mengatakan bahwa setiap orang mempunyai keinginan untuk melakukan karya yang berprestasi / yang lebih baik dari karya orang lain. Ada 3 kebutuhan manusia, yaitu berprestasi, berafilisasi, dan kekuasaan. Ketiganya merupakan unsur penting dalam menentukan prestasi seorang pekerja.
e)      Teori X dan Teori Y
Dikembangkan oleh McGregor. Menurutnya, cirri organisasi tradisional pada dasarnya bertolak dari asumsi mengenai sifat dan motivasi manusia.
Teori X menganggap sebagian manusia lebih suka di perintah dan tidak tertarik rasa tanggung jawab, masih bersifat anak – anak, tidak suka bekerja, berkemampuan kecil untuk mengatasi masalah organisasi, dan hanya butuh motivasi fisiologi. Oleh karena itu, perlu diawasi secara ketat.
Teori Y menganggap manusia suka bekerja, dapat mengontrol diri sendiri, dan mempunyai kemampuan untuk berkreativitas. Oleh karena itu, tidak perlu diawasi ketat.
Kebutuhan terbagi menjadi dua jenis, primer (fisiologis) dan sekunder (sosio psikologis). Ada beberapa prinsip untuk memotivasi pegawai untuk meningkatkan kinerja, yaitu kegiatan yang menarik dan menyenangkan, tujuan kegiatan disusun jelas dan di informasikan, pegawai juga dilibatkan dalam penyusunan tujuan, pemberitahuan hasil kerja, pemberian hadiah lebih baik dari hukuman, memanfaatkan sikap, cita-cita,dan rasa ingin tahu pegawai, memperhatikan perbedaan individual pegawai, memenuhi kebutuhan dengan memperhatikan kondisi fisik, member rasa aman, menunjukkan bahwa pemimpin memperhatikan mereka, dan mengatur pengalaman sedemikian rupa sehingga pegawai memperoleh kepuasaan dan penghargaan.
Castetter mengemukakan 4 kriteria kinerja yaitu : karakteristik personil (kinerja meliputi kemampuan, ketrampilan, kepribadian, motivasi), proses (kecocokan dengan standar kinerja yang telah ditentukan), hasil (hasil nyata kualitas / kuantitas), serta kombinasi ketiganya. Menurut Mitchell criteria kinerja dalam Area Performance adalah kualitas kerja, ketepatan, inisiatif, kemampuan, dan komunikasi. Sedangkan Steers menggunakan 3 faktor untuk menilai kinerja yaitu kemampuan dan minat pegawai, kejelasan penerimaan atas peranan pegawai, dan tingkat motivasi pegawai. Kriteria menilai kinerja pegawai dalam MBS antara lain, pemahaman tentang tugas dan tanggung jawab, kemampuan dan keterampilan, semangat yang tinggi, serta berinisiatif dan berkemampuan tinggi.
c.       Penghargaan (rewards)
Penghargaan penting untuk meningkatkan kegiatan produktif dan mengurangi kegiatan yang kurang produktif. Penggunaannya sebaiknya secara efektif dan efisien agar tidak menimbulkan dampak negatif.
4.      Kepemimpinan Kepala Sekolah yang Efektif Kriteria kepemimpin kepala sekolah yang efektif, kriterianya :
a.       Mampu memberdayakan guru untuk melaksanakan proses pembelajaran yang baik, lancar, dan produktif.
b.      Dapat menyelesaikan tugas dan pekerjaan tepat waktu.
c.       Mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan masyarakat, melibatkan masyarakat secara aktif dalam rangka mewujudkan tujuan sekolah dan pendidikan.
d.      Berhasil menerapkan prinsip kepemimpinan yang sesuai dengan tingkat kedewasaan guru dan pegawai lain di sekolah.
e.       Berhasil mewujudkan tujuan sekolah secara produktif sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.

Menurut Pidarta, tiga keterampilan yang harus dimiliki oleh kepala sekolah antara lain keterampilan konseptual (memahami dan mengoperasikan organisasi), ketrampilan manusiawi (kerja sama, memotivasi dan memimpin), ketrampilan teknik (menggunakan pengetahuan, metode, teknik, serta perlengkapan untuk menyelesaikan tugas tertentu). Untuk memiliki ketrampilan konsep, diharapkan melakukan kegiatan sebagai berikut : senantiasa belajar dari pekerjaan sehari-hari terutama cara kerja guru dan pegawai sekolah lain, melakukan observasi kegiatan manajemen secara terencana, membaca berbagai hal yang berkaitan dengan kegiatan yang sedang dilaksanakan, memanfaatkan hasil penelitian orang lain, berfikir untuk masa yang akan dating, merumuskan ide yang dapat di uji cobakan, menerapkan gaya kepemimpinan yang efektif sesuai dengan situasi dan kebutuhan serta motivasi para guru dan pekerja lain.

2.14     Koordinasi, Komunikasi, dan Supervisi dalam menejemen berbasis sekolah (MBS)
1.      Koordinasi dalam MBS
Coordination, berasal dari bahasa latin cum, artinya berbeda-beda, sedangkan ordinare, artinya penyusunan/penempatan sesuatu pada keharusannya. Dalam MBS koordinasi berkaitan dengan penempatan berbagai kegiatan yang berbeda – beda pada keharusan tertentu sesuai aturan yang berlaku untuk mencapai tujuan dengan sebaik-baiknya melalui proses yang tidak membosankan. Handayaningrat mengemukakan karakteristik koordinasi sebagai berikut :
a.       Tanggung jawab koordinasi terletak pada pimpinan
b.      Koordinasi adalah kerja sama
c.       Koordinasi merupakan proses yang terus menerus (continue process)
d.      Pengaturan usaha kelompok secara teratur
e.       Kesatuan tindakan merupakan inti koordinasi
f.        Tujuan koordinasi adalah tujuan bersama
Ada lima prinsip utama yang harus diperhatikan agar koordinasi berjalan lancar, antara lain : koordinasi harus dimulai dari tahap perencanaan awal, menciptakan iklim yang kondusif bagi kepentingan bersama, koordinasi merupakan proses yang terus menerus dan berkesinambungan, koordinasi merupakan pertemuan-pertemuan bersama untuk mencapai tujuan, serta perbedaan pendapat harus diakui sebagai pengayaan dan harus dikemukakan secara terbuka dan diselidiki dalam kaitannya dengan situasi secara keseluruhan.
a.       Manfaat koordinasi dalam MBS
(1)          Menghilangkan dan menghindarkan perasaan terpisahkan satu sama lain antara pengawas, kepala sekolah, guru, dan para petugas/personalia di sekolah.
(2)          Menghindarkan perasaan / pendapat bahwa dirinya / jabatannya merupakan paling penting.
(3)          Mengurangi/menghindarkan kemungkinan timbulnya pertentangan antar sekolah/antar pejabat dan pelaksana.
(4)          Menghindarkan timbulnya rebutan fasilitas.
(5)          Menghindarkan terjadinya peristiwa menunggu yang memakan waktu lama.
(6)          Menghindarkan kemungkinan terjadinya kekembaran pekerjaan sesuatu kegiatan oleh sekolah.
(7)          Menghindarkan kemungkinan terjadinya kekosongan pekerjaan sesuatu program oleh sekolah/kekosongan pekerjaan tugas oleh kepala sekolah.
(8)          Menumbuhkan kesadaran kepala sekolah untuk saling memberikan bantuan satu sama lain terutama bagi mereka yang berada dalam wilayah yang sama.
(9)          Menumbuhkan kesadaran kepala sekolah untuk saling memberi tahu masalah yang dihadapi bersama dan bekerja sama dalam memecahkannya.
(10)      Memberikan jaminan tentang kesatuan langkah diantara para kepala sekolah/guru.
(11)      Menjamin adanya kesatuan kebijaksanaan diantara kepala sekolah dalam wilayah tertentu.
(12)      Menjamin adanya kesatuan sikap diantara kepala sekolah.
(13)      Manfaat utama koordinasi yaitu, menumbuhkan sikap egaliter serta meningkatkan rasa kesatuan dan persatuan diantara kepala sekolah maupun guru dengan tetap menghargai kewajiban dan wewenang masing-masing.
b.      Macam-macam koordinasi
   Handayaningrat mengemukakan koordinasi berdasarkan hubungan antara pejabat yang mengkoordinasi dan pejabat yang dikoordinasi, sebagai berikut:
1)      Koordinasi intern
·         Koordinasi vertical / structural : antara yang mengkoordinasi dengan yang dikoordinasi terdapat hubungan hierarkis, satu dengan yang lain berada pada satu garis komando (line of command).
·         Koordinasi horizontal, yaitu koordinasi fungsional : kedudukan yang mengkoordinasi dengan yang dikoordinasi setingkat eselonnya.
·         Koordinasi diagonal, yaitu koordinasi fungsional : yanh mengkoordinasi mempunyai kedudukan lebih tinggi eselonnya dibanding yang di koordinasi, tetapi satu sama lain tidak berada pada satu garis komando.
2)      Koordinasi ekstern
Termasuk dalam koordinasi fungsional, bersifat horizontal dan diagonal. Siagian mengelompokkan koordinasi sebagai berikut : (a) koordinasi menjadi atasan dengan bawahan yang disebut koordinasi vertical; (b) koordinasi diantara sesame pejabat yang setingkat dengan instansi; (c) koordinasi fungsional : koordinasi antar instansi, tiap instansi mempunyai tugas dan fungsi dalam suatu bidang tertentu.
c.  Cara melakukan koordinasi
Sutarto mengungkapkan cara melakukan koordinasi antara lain dengan : (1) mengadakan pertemuan informal antar pejabat; (2) mengadakan pertemuan formal antar pejabat; (3) membuat edaran berantai kepada mengadakan pertemuan informal antar pejabat; pejabat yang d mengadakan pertemuan informal antar pejabat;iperlukan; (4) menyebar kartu pada pejabat yang diperlukan; (5) mengangkat koordinator; (6) membuat buku pedoman lembaga, buku pedoman tata kerja, dan buku pedoman kumpulan peraturan; (7) berhubungan melalui alat perhubungan / telepon; (8) membuat tanda-tanda; (9) membuat symbol; (10) membuat kode; (11) bernyanyi bersama.
Hakekatnya koordinasi dilakukan secara formal, yaitu upaya impersonal dengan membuat peraturan dan mengangkat pejabat, serta secara informal, yaitu pembicaraan dan konsultasi. Manajemen berbasis sekolah merupakan pendekatan proses dan pendekatan tugas (koordinasi mencakup seluruh program pengelolaan terhadap setiap subjek, objek dan bidang garapan sekolah).
2.      Komunikasi dalam MBS
a.      Komunikasi Intern
1)      Dasar, Tujuan, dan Manfaat
·         Dasar : komunikasi yang baik antara berbagai personil harus dikembangkan untuk mencapai hasil seoptimal mungkin. Kurang komunikasi akan mengakibatkan kurangnya hasil yang dapat diwujudkan, bahkan sering gagal mencapai tujuan.
·         Tujuan : menciptakan kondisi menarik dan hangat, personil dapat bekerja terdorong untuk berprestasi lebih baik dan mengerjakan tugas mendidik dengan penuh kesadaran.
·         Manfaat : mudah dalam memecahkan/menyelesaikan masalah dengan bantuan orang (diskusi).
2)      Prinsip Komunikasi
Karakteristik hubungan professional antara lain dipengaruhi “tata karma” professional, terbuka untuk mengemukakan pendapat, keputusan diambil berdasarkan pertukaran pendapat dan memberikan keputusan yang bersifat pedoman, bukan sesuatu yang tegas dan praktis. Kepala sekolah perlu memperhatikan prinsip dibawah ini :
·         Bersikap terbuka, tidak memaksakan kehendak tetapi bertindak sebagai fasilitator (demokratis dan kekeluargaan).
·         Mendorong guru untuk mau dan mampu memecahkan masalah, serta mendorong aktivitas dan kreativitas guru.
·         Mengembangkan kebiasaan untuk berdiskusi secara terbuka dan mendidik guru untuk mau mendengar pendapat orang lain secara objektif
·         Mendorong untuk mengambil keputusan yang baik dan mentaatinya.
·         Berlaku sebagai pengarah, pengatur pembicaraan, perantara dan pengambil kesimpulan secara redaksional.
3)          Memecahkan Masalah Bersama di Sekolah
·         Kegiatan pertemuan yang bersifat teratur dan berkala.
·         Guru bergiliran mengemukakan pendapat.
·         Peningkatan pengetahuan dan kemampuan professional dengan mengungkapkan pengetahuan yang diperoleh dengan guru lain (diskusi).
b.      Komunikasi Ekstern
1)      Hubungan Sekolah dengan Orang Tua
Tujuan : saling membantu dan saling isi mengisi mengenai bantuan keuangan dan barang-barang, untuk mencegah perbuatan yang kurang baik, dan bersama-sama membuat rencana yang baik untuk sang anak.
Cara menjalin hubungan sekolah dengan orang tua :
·         Melalui dewan sekolah : tujuannya untuk membantu menyukseskan kelancaran proses belajar mengajar di sekolah baik menyangkut perencanaan, pelaksanaan,dan penilaian.
·         Melalui BP3 : memberi bantuan penyelenggaraan pendidikan di sekolah (masalah sarana prasarana penunjang KBM).
·         Melalui pertemuan penyerahan buku laporan pendidikan : pemberian penjelasan tentang kegiatan belajar mengajar serta prestasi peserta didik dan kelemahan yang perlu ditingkatkan.
·         Melalui ceramah ilmiah : menghadirkan ahli untuk menyampaikan permasalahan dan pemecahannya dalam forum tersebut.
Hubungan tersebut dapat dilakukan dalam berbagai bidang kehidupan, seperti : (a) proses belajar mengajar : memberi bantuan dan kemudahan belajar kepada peserta didik; (b) bidang pengembangan bakat : pembinaan dan pengembangan bakat agar berkembang optimal; (c) bidang pendidikan mental : untuk menghadapi peserta didik dengan masalah kesulitan belajar karena kondisi yang kacau; (d) bidang kebudayaan : penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar, penanaman cinta terhadap budaya dan produk dalam negeri.
2)      Hubungan Sekolah dengan masyarakat
Tujuannya ada 2 dimensi :
·         Kepentingan sekolah : memelihara kelangsungan hidup sekolah, meningkatkan mutu pendidikan di sekolah, memperlancar kegiatan belajar mengajar, memperoleh bantuan dan dukungan dari masyarakat dalam rangka pengembangan dan pelaksanaan program sekolah.
·         Kebutuhan sekolah : memajukan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, memperoleh kemajuan sekolah dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi masyarakat, menjamin relevansi program sekolah dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat, memperoleh kembali anggota masyarakat yang terampil dan makin meningkatkan kemampuannya.
·         Saling membantu, mengisi dan menggalang bantuan keuangan serta barang
·         Program kegiatan luar sekolah, waktu libur, pengisi waktu luang.
·         Membantu pengadaan alat peraga, perpustakaan sekolah, beasiswa / orang tua asuh.
·         Bidang kerjasama
Ø  pendidikan kesenian : pengembangan / pembinaan bakat seni dengan membentuk perkumpulan kemudian dikembangkan.
Ø  pendidikan olahraga : manusia berkualitas yang dicita-citakan adalah yang sehat jasmani dan rohani.
Ø  proses keterampilan : kerjasama dengan lembaga dan yayasan di masyarakat untuk menekan dana yang dikeluarkan
Ø  pendidikan anak berkelainan : membentuk lembaga penyelenggara sekolah luar biasa / memberi bantuan khusus bagi anak yang memerlukan.
Hubungan dapat dijalin dengan melalui dewan sekolah, melalui rapat BP3, melalui rapat bersama, konsultasi, radio, tv, surat, telepon, pameran sekolah (pameran hasil karya peserta didik, pementasan,dan mencari dana) , serta melalui ceramah.
3.      Supervisi dalam MBS
1.      Hakikat Supervisi.
      Secara etimologi kata super dan visi mengandung arti melihat dan meninjau dari atas atau memilik dan menilai dari atas yang dilakukan oleh pihak atasan terhadap aktivitas, kreativitas dan kinerja bawahan. Istilah yang hampir sama dengan supervisi, yaitu pengawasan. Pengawasan adalah kegiatan untuk melakukan pengamatan agar pekerjaan dilakukan sesuai dengan ketentuan. Pemeriksaan maksudnya untuk melihat bagaimana kegiatan yang dilaksanakan telah mencapai tujuan. Inspeksi itu digunakan untuk mengetahui kekurangan- kekurangan atau kesalahan yang perlu diperbaiki dalam suatu pekerjaan. Dalam MBS, supervise ditekankan pada pembinaan dan peningkatan kemampuan serta kinerja tenaga kependidikan di sekolah dalam melaksanakan tugas. Dalam Carter Good’s dictionary of Education (dalam Mulyasa,2009:155), supervisi adalah segala usaha pejabat sekolah dalam memimpin guru-guru dan tenaga kependidikan lainnya untuk memperbaiki pengajaran, termasuk menstimulasi, menyeleksi pertumbuhan dan perkembangan jabatan guru-guru, menyeleksi dan merevisi tujuan –tujuan pendidikan, bahan pengajaran dan metode-metode mengajar serta evaluasi pengajaran.  Sutisna mendeskripsikan supervise sebagai bantuan dalam pengembangan situasi belajar mengajar yang lebih baik. Supervisi adalah suatu kegiatan pembelajaran yang disediakan untuk membantu para guru dalam menjalankan pekerjaan agar lebih baik. Menurut Wiles, supervisi yang baik hendaknya mengembangkan kepemimpinan dalam kelompok, membangun program satu tahun dalam jabatan untuk meningkatkan keterampilan dan kemampuan guru dalam menilai hasil pekerjaannya. Sahertian mengartikan supervise sebagai usaha mengawali, mengarahkan, menkoordinasi dan membimbing secara kontinu pertumbuhan guru baik secara individual maupun secara kolektif, agar lebih mengerti dan lebih efektif dalam mewujudkan seluruh fungsi pengajaran sehingga dapat menstimulasi dan membimbing pertumbuhan tiap murid secara kontinyu sehingga dapat lebih cepat berpartisipasi dalam masyarakat demokrasi modern.
2.      Tujuan dan Fungsi
      Tujuan supervisi adalah membantu dan memberikan kemudahan kepada para guru untuk belajar bagaimana meningkatkan kemampuan mereka guna mewujudkan tujuan belajar peserta didik. Sementara Ametembun mengungkapkan bahwa tujuan supervisi adalah :
o   Membina kepala sekolah dan guru-guru untuk lebih memahami tujuan pendidikan yang sebenarnya dan peranan sekolah dalam merealisasikan tujuan tersebut.
o   Memperbesar kesanggupan kepala sekolah dan guru untuk mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang lebih efektif.
o   Membantu kepala sekolah dan guru mengadakan diagnosis secara kritis terhadap aktivitas-aktivitasnya dan kesulitan-kesulitan belajar mengajar serta menolong mereka merencanakan perbaikan.
o   Meningkatkan kesadaran kepala sekolah dan guru serta warga sekolah lain terhadap cara kerja yang demokratis dan komprehensif serta memperbesar kesediaan untuk tolong menolong.
o   Memperbesar semangat guru-guru dan meningkatkan motivasi berprestasi untuk mengoptimalkan kinerja secara maksimal dalam profesinya,
o   Membantu kepala sekolah untuk mempopulerkan pengembangan program pendidikan disekolah kepada masyarakat.
o   Melindungi orang-orang yang disupervisi terhadap tuntutan-tuntutan yang tidak wajar dan kritik-kritik yang tidak sehat dari masyarakat.
o   Membantu kepala sekolah dan guru dalam mengevaluasi aktivitasnya untuk mengembangkan aktivitas dan kreativitas peserta didik.
o   Mengembangkan Rasa persatuan dan kesatuan (kolegiatas) di antara guru.
Setiap supervisor pendidikan harus memahami dan mampu melaksanakan supervise sesuai fungsi dan tugas pokoknya baik yang menyangkut penelitian, penilaian, perbaikan maupun pengembangan. Penelitian merupakan kegiatan untuk memperoleh gambaran yang jelas dan objektif tentang situasi pendidikan yang akhirnya diperoleh data dan info sebagai dasar untuk menganalisis, hasil analisisnya dan kesimpulan digunakan sebagai bahan pertimbangan. Penilaian adalah tindak lanjut untuk mengetahui hasil penelitian lebih jauh, untuk mengetahui factor-faktor yang mempengaruhi situasi pendidikan dan pengajaran yang telah diteliti sebelumnya. Perbaikan merupakan hasil penilaian dan penelitian. Tugas supervisor dalam hal ini adalah mencari jalan pemecahan, mengarahkan perbaikan, meningkatkan keadaan, dan melakukan penyempurnaan. Pengembangan adalah upaya untuk senantiasa mempertahankan dan meningkatkan kondisi yang sudah baik yang ditemukan dari hasil penelitian dan penilaian dengan memelihara, menjaga, dan meningkatkan hasil-hasil yang telah dicapai supaya kondisi dan situasi tersebut tidak mengalami penurunan, tetapi akan lebih baik dan meningkat, baik secara secara kuantitas maupun kualitas pelaksanaan secara simultan, konsisten, dan kontinyu. Gwyn (dalam Mulyasa,2009:159) merumuskan 10 tugas utama supervisor:
·      Membantu guru mengerti dan memahami peserta didik
·      Membantu mengembangkan dan memperbaiki, baik secara individual maupun secara bersama-sama.
·      Membantu seluruh staf sekolah agar lebih efektif dalam melaksanakan proses belajar mengajar .
·      Membantu guru meningkatkan cara mengajar yang efektif.
·      Membantu guru secara individual.
·      Membantu guru agar dapat menilai peserta didik lebih baik.
·      Menstimulir guru agar dapat menilai diri dan pekerjaannya.
·      Membantu guru agar merasa bergairah dalm pekerjaannya dengan penuh rasa aman.
·      Membantu guru dalam melaksanakan kurikulumdi sekolah.
·      Membantu guru agar dapat memberikan info yang seluas-luasnya kepada masyarakat tentang kemajuan sekolahnya.
3.      Teknik Supervisi
a.       Kunjungan dan observasi kelas
Kepala sekolah mengamati langsung guru saat melaksanakan tugas, mengajar, penggunaan alat, metode, teknik mengajar, secara keseluruhan dengan berbagai factor yang mempengaruhi. Ada tiga pola yang dapat dilakukan dalam kegiatan ini, yaitu tanpa memberitahu guru, memberi tahu lebih dahulu, dan kunjungan atas undangan guru.
b.      Pembicaraan individual
Merupakan alat supervise yang penting karena dalam kesempatan tersebut supervisor dapat bekerja secara individu dengan guru dalam memecahkan masalah pribadi yang berhubungan dengan proses belajar mengajar.
c.       Diskusi kelompok / pertemuan kelompok
Merupakan kegiatan mengumpulkan sekelompok orang dalam situasi tatap muka dan interaksi lisan untuk bertukar info atau berusaha mencapai suatu keputusan tentang masalah bersama. Kegiatan diskusi kelompok dapat dikembangkan mlalui rapat sekolah untuk membahas bersama-sama masalah pendidikan dan pengajaran di sekolah itu.
d.      Demonstrasi mengajar
Proses belajar mengajar yang yang dilakukan oleh seorang guru yang memiliki kemampuan dalam hal mengajar sehingga guru lain dapat mengambil hikmah dan manfaatnya. Tujuannya member contoh bagaimana cara melaksanakan proses belajar mengajar yang baik dalam menyajikan materi, menggunakan pendekatan, metode, dan media pembelajaran.
e.       Perpustakaan professional
Ciri professional tercermin dalam kemauan untuk belajar secara terus menerus dalam rangka meningkatkan dan memperbaiki tugas utamanya. Guru hendaknya merupakan kelompok “reading people” dan menjadi bagian dari masyarakat belajar yang menjadikan belajar sebagai kebutuhan hidup.
Selain teknik-teknik diatas, ada teknik lain yang bisa digunakan antara lain program orientasi, lokakarya, bulletin supervise, penelitian tindakan (action research), pengembangan kurikulum, rapat guru, bahkan penilaian diri sendiri berkaiatan dengan pelaksanaan tugas oleh para guru.
4.      Monitoring dan Evaluasi
Hasil monitoring dan evaluasi dapat digunakan untuk mengukur tingkat kemajuan pendidikan di sekolah. Oleh karena itu, keberhasilan ME ditentukan oleh informasi yang cepat, tepat dan cukup untuk pengambilan keputusan. Monitoring (dalam Rokhmaniah,2008:37) adalah proses pemantauan untuk mendapatkan informasi pelaksanaan MBS. Sedangkan evaluasi ialah proses mendapatkan informasi tentang hasil MBS. Monitoring dan evaluasi memiliki tujuan yaitu mendapatkan informasi sebagai masukan dalam pengambilan keputusan dan member masukan (umpan balik) bagi perbaikan pelaksanaan MBS baik konteks, input, proses, output, maupun outcome.
Komponen MBS yang perlu di monitoring dan di evaluasi adalah :
a.       Konteks (eksternal sekolah) : berupa tuntutan (demand) dan dukungan (support) yang berpengaruh terhadap input sekolah. Evaluasinya dengan needs assessment.
b.      Input
c.       Proses
d.      Output (dampak pendidikan jangka pendek)
e.       Outcome (hasil MBS jangka panjang)
                   Ada 2 jenis ME :
·         Internal : ME yang dilakukan oleh sekolah, tujuannya untuk mengetahui tingkat kemajuan sekolah sehubungan dengan sasaran – sasaran sekolah. Pelaksanaan ME internal adalah warga sekolah.
·         Eksternal : ME yang dilakukan pihak luar sekolah seperti Dinas Pendidikan Kabupaten / Kota, Dinas Pendidikan Provinsi, Pengawas, atau gabungan dari mereka.
·         Hasil ME untuk system hadiah bagi sekolah, meningkatakan iklim kompetensi antar sekolah, kepentingan akuntabilitas sekolah, memperbaiki sistem yang ada secara menyeluruh, dan membantu sekolah mengembangkan dirinya.

2.15          Indikator Keberhasilan MBS
Yang menjadi faktor keberhasilan MBS diantaranya adalah sebagai berikut :
1.      Adanya pemerataan pendidikan (berupa kesamaan kesempatan antara siswa – siswa desa-kota, kaya miskin, laki-perempuan, cacat-tidak cacat).
2.      Kualitas pendidikan (input, proses, output).
3.      Efektivitas dan efisiensi pendidikan (angka kenaikan kelas, angka kelulusan, angka putus sekolah).
4.      Tata pengelolaan sekolah yang baik ( melalui partisipasi, transparansi, tanggung jawab, akuntabilitas, wawasan ke depan, penegakan hukum, keadilan, demikrasi, prediktif, kepekaan, profesionalisme, efektivitas dan efisiensi, serta kepastian jaminan hukum).
2.16          Peran Kepala Sekolah, Guru, Orang Tua dan Masyarakat dalam menejemen berbasis sekolah (MBS)
Manajemen berbasis sekolah (MBS) adalah salah satu bentuk pengelolaan manajemen sekolah yang diterapkan untuk peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Beberapa faktor yang melatarbelakangi munculnya Manajemen berbasis sekolah ini adalah: (1) penerapan pendekatan education production function terlalu memusatkan pada input pendidikan dan kurang memperhatikan pada proses pendidikan, (2) penyelenggaraan pendidikan nasional dilakukan secara birokratik-sentralistik sehingga menempatkan sekolah sebagai penyelenggara pendidikan sangat tergantung pada keputusan birokrasi yang mempunyai jalur yang sangat panjang dan kadang-kadang kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kondisi sekolah setempat, (3) peran serta warga sekolah khususnya guru dan peran serta masyarakat khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini sangat minim. Peningkatan mutu pendidikan akan terwujud jika sekolah dengan potensi yang dimiliki diberi kewenangan yang lebih luas dan fleksibel untuk mengatur, mengelola, dan mengembangkannya secara mandiri melalui keputusan-keputusan yang partisipatif.
Beberapa pihak yang memiliki peran penting dalam menejemen berbasis sekolah (MBS) adalah :
a.       Kepala Sekolah
Dalam implementasi Manajemen berbasis sekolah, tanggung jawab utama (key person) berada di pundak kepala sekolah (school principals). Dikatakan demikian karena sudah lama diakui oleh para pakar manajemen pendidikan bahwa kepala sekolah merupakan faktor kunci efektif tidaknya suatu sekolah. Kepala sekolah dikatakan sebagai faktor kunci karena kepala sekolah memainkan peranan yang sangat penting dalam keseluruhan spektrum pengelolaan sekolah. Sebagai manajer pendidikan yang profesional, kepala sekolah bertanggung jawab sepenuhnya terhadap sukses tidaknya sekolah yang dipimpinnya, sehingga dalam menerapkan Manajemen berbasis sekolah, peran kepala sekolah sangat menentukan efektif tidaknya pelaksanaan Manajemen berbasis sekolah. Peran kepala sekolah antara lain:
1.        Mengimplementasikan manajemen berbasis sekolah dengan penerapan manajemen yang partisipatif dan transparan melalui pola kepemimpinan yang terbuka, demokratis, saling menghargai, terbuka, kekeluargaan, dan selalu menjaga hubungan kemanusian.
2.        Menjalankan peran supervisi kepala sekolah dalam pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan besar sekali pengaruhnya dalam membantu guru merealisasikan kegiatan pembelajaran yang aktif, kreatif dan menyenangkan tersebut.
3.        Kepala sekolah berperan aktif dalam melibatkan orang tua dan komite sekolah mendukung program-program sekolah.

b.      Guru
Pemberdayaan dan akuntabilitas guru dan administrator adalah syarat penting dalam MBS. Guru memiliki pengaruh dalam pengambilaqn kepuitusan dengan berpartisipasi  dalam perencanaan, pengembangan, monitoring, dan meningkatkan program pengajaran di dalam sekolah.
Peran guru dalam MBS menurut Cheng (1996) adalah sebagai  rekan kerja, pengambilo keputusan, dan pengimplementasi program pengajaran. Mereka bekerja bersama-sama dengan komitmen bersama dan berpartiosipasi dalam pengambilan keputusan untuk mempromosikan pengajaran efektif dan mengembangkan sekolah mereka dengan antusiasme.
Agar para guru memiliki peran yang lebih besar dalam pengelolaan sekolah maka perlu dilakukan desentralisasi pengetahuan. Terdapat dua jenis pengetahuan yang penting untuk dimiliki para guru. Pertama, pengetahuan yang berkaitan dengan tanggung jawabg partisipan sekolah di dalam kerangka MBS. Yang termasuk dalam pengetahuan ini adalah cara mengorganisasi pertemuan-pertemuan, bagaimana cara meraih consensus dan bagaimana cara membuat anggaran. Kedua, berkaitan dengan pengajaran dan perubahan-perubahan program sekolah, diantaranya mencakup pengetahuan tentang pengajaran, pembelajaran dan kurikulum.
Cheng (1996) juga mengemukakan bahwa peran administrator sekolah dalam MBS adalah pengembang dan pemimpin dalam mencapai tujuan. Mereka mengembangkan tujuan baru untuk sekolah menurut situasi dan kebutuhannya. Selain itu, juga memimpin warga sekolah untuk mencapai tujuan dan berkolaborasi dan terlibat penuh dalam fungsi sekolah. Mereka juga memperbesar sumber-sumber daya untuk mempromosikan perkembangan sekolah.

c.       Orang tua dan masyarakat (Komite sekolah)
Penelitian yang dilakukan Balitbang Diknas RI menunjukan bahwa berdasarkan penilaian guru, tingkat partisipasi orangtua siswa dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan di sekolah adalah rendah, yaitu rata-rata hanya 57,1%. Partisipasi orang tua siswa yang sangat rendah ialah dalam hall menentukan kebijakan program sekolah dan mengawasinya, pertemuan rutin, kegiatan ekstarkurikuler dan pengembangan iklim sekolah. Partisipasi orang tua siswa yang sangat tinggi ialah dalam mengawasi mutu sekolah, pertemuan BP3, pembayaran dan bentuk iuran BP3 perbulan dan sumbangan uang gedung untuk siswa baru.
Memang selama ini seolah terjadi terjadi jurang pemisah antara sekolah dengan keluarga dan masyarakat. Bahkan terjadi anggapan bahwa sekolah hanyalah sekedar tempat penitipan anak karena orangtua tidak memiliki waktu untuk menjaga dan mendidik, ataupun tidak bias dan tidak tahu cara mendidik anak. Walaupun sekolah telah menjadi panti sosial bagi anak. Walaupun sekolah telah menjadi panti sosial bagi anaknya, apresiasi orang tua dan masyarakat terhadap komunitas sekolah masih amat rendah.
Apakah rendahnya penghargaan dan rasa hormat orangtua dan masyarakat terhadap sekolah itu karena mereka merasa telah memberikan imbalan yang cukup? Bila kita bandingkan, apa yang dibayarkan orangtua ke sekolah dengan hasil yang dicapai berupa perkembangan pengetahuan, keterampilan dan sikap siswa belumlah sepadan.
Malangnya lagi selama ini belum ada upaya-upaya untuk menjembatani jurang pemisah tersebut. Komunikasi orangtua dan masyarakat dengan sekolah hanya terjadi setahun sekali, itupun ketika terjadi pemberitahuan perubahan besar iuran SPP dan BP3 atau pemberitahuan tunggakan yang harus dilunasi. Mendeknya komunikasi itu makin parah ketika timbul kesan bahwa diantar mereka terjadi perbedaan kelas sosial dan tidak ada kesamaan visi dalam mendidik siswa.
Sejalan dengan upaya reformasi pendidikan nasional melalui MBS, hubungan sekolah dengan keluarga dan masyarakat juga perlu direformasi sehingga tanggung jawab pendidikan bukan hanya dibebankan pada sekolah. Caranya dengan membentuk Dewan Pendidikan, Komite Sekolah, Persatuan Guru dan Orangtua Siswa, atau apapun namanya untuk memberdayakan orangtuanya dan masyarakat dalam pendidikan. Anggotanya terdiri dari orangtua siswa, akademisi, pemuka agama, pimpinan partai politik, tokoh masyarakat, pakar pendidikan, usahawan, dan dunia industri serta kalangan LSM.
Dalam era otonomi pendidikan ini, keluarga dan masyarakat bukan lagi pihak yang pasif hanya penerima keputusan-keputusan dalam penyelenggaraan pendidikan. Mereka harus aktif bermain, menetukan dan membuat program bersama sekolah dan pemerintah.
Shields (1994) menyatakan bahwa reformasi pendidikan harus sampai pada hubungan antar sekolah dan keluarga dan masyarakat dengan cara melibatkan secara aktif dalam kegiatan-kegiatan sekolah baik yang terkait langsung dengan kegiatan pembelajaran maupun noninstruksional.
Seperti yang dikemukakan Clark (1989) bahwa terdapat dua jenis pendekatan untuk mengajak orangtua dan masyarakat berpartisipasi aktif dalam pendidikan. Pertama, pendekatan school-based dengan cara mengajak orangtua siswa datang ke sekolah melalui pertemuan-pertemuan, konferensi, diskusi guru-orangtua dan mengunjungi anaknya yang sedang belajar di sekolah. Kedua, pendekatan home-based, yaitu orang tua membantu anaknya belajar di rumah bersama-sama dengan guru yang berkunjung ke rumah.
Cheng (1996) juga mengemukakan bahwa peran para orangtua dalam MBS adalah menerima pelayanan yang berkualitas melalui siswa-siswa yang menerima pendidikan yang mereka butuhkan. Peran orangtua sebagai partner dan pendukung. Mereka dapat berpartisipasi dalam proses sekolah, mendidik siswa secara koperatif, berusaha membantu perkembangan yang sehat kepada sekolah dengan memberi sumbangan sumber daya dan informasi, mendukung dan melindungi sekolah pada saat mengalami kesulitan dan krisis.
Keikutsertaan masyarakat dan keluarga dalam pendidikan memiliki banyak keuntungan,l sebagaiman dikemukakan Rhoda (1986). Pertama, pencapaian akademik dan perkembangan kognitif siswa dapat berkembang secara signifikan. Kedua, orangtua dapat mengetahui perkembangan anaknya dalam proses pendidikan di sekolah. Ketiga, orangtua akan menjadi guru yang baik di rumah dan bias menerapkan formula-formula positif untuk pendidikan ankanya. Keempat, akhirnya orangtua memiliki sikap dan pandangan positif terhadap sekolah.
Sementara itu, Clark (1989) menambahkan keuntungan lainnya adalah menumbuhkan rasa percya diri siswa dan meningkatkan hubungan baik antar orang tua dan anak. Penulis juga melihat keuntungan lainnya dengan mengetahui perkembangan anaknya maka orang tua mampu mengarahkan minat dan bakatnya secara dini.
Untuk apa perlu memberdayakan masyarakat dalam pendidikan? Pertama, menurut Uemura (1999) dalam tulisannya Community Participation in Education mengatakan bahwa tujuan partisipasi tersebut untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pendidikan sehingga siswa bias belajar lebih baik dan siap menghadapi perubahan zaman.
Kedua, karena keterbatasan sumber daya terutama financial yang dimiliki pemerintah, terutama bagi Negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, untuk menyelenggarakan pendidikan bagi setiap warga Negara.
Ketiga, meningkatkan relevansi pendidikan karena selama ini pendidikan selalu ketinggalan dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang dalam masyarakat.
Keempat, agar mendorong terselenggaranya system pendidikan yang adil dengan menyediakan pendidikan bagi anak yang kurang mampu, kaum wanita, masyarakat terasing, dan suku minoritas.
Kelima, untuk meningkatkan kerja samaantar sekolah dan masyarakat dan mengurangi konflik yang sering terjadi di sekolah.
Di El Savador partisipasi masyarakatdalam MBS menurut Umanzor, dkk. (1997) memiliki tiga tujuan utama. Pertama, meningkatkan pelayanan, pendidikan kepada masyarakat termiskin di daerah pedesaan. Kedua, mendorong partisipasi anggota masyarakat local,terhadap pendidikan anak-anak mereka. Ketiga, meningkatkan kualitas pendidikan prasekolah dan pendidikan dasar.
Tokoh masyarakat juga memiliki peran yang penting demi kemajuan pendidikan antara lain sebagai berikut :
1.        Pergerakan, dengan membentuk badan kerja sama pendidikan dengan menghimpun kekuatan dari masyarakat agar semakin peduli terhadap pendidikan. Salah satu caranya dengan membentuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) peduli pendidikan.
2.        Informan dan penghubung, yaitu menginformasikan harapan dan kepentingan masyarakat kepada sekolah dan menginformasikan kondisi sekolah, baik kekurangan maupun kelebihan sekolah kepada masyarakatsehingga masyarakat tahu secara persis keadaan sekolah.
3.        Koordinator, yaitu  mengkoodinasikan kepentingan sekolah dengan kebutuhan bisnis di lingkungan masyarakat tersebut, agar siswa-siswa sekolah di beri kesempatan untuk praktik dan magang kerja di industri terkait.
4.        Pengusul, yaitu mengusulkan kepada pemerintah daerah  agar dilakukan pajak untuk pendidikan. Artinya,  lembaga bisnis dan individu dikenai pajak untuk pendanaan pendidikan sehingga sehingga lembaga pendidikan semakin maju dan bermutu.






















BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan 
Beberapa hal yang dapa disimpulka terkait materi yang telah dipaparkan adalah sebagai berikut :
1.        Pengetian menejemen berbasis sekolah (MBS)
Manajemen berbasis sekolah (MBS) adalah bentuk alternatif sekolah sebagai hasil dari desentralisasi pendidikan. Manajemen berbasis sekolah (MBS) pada prinsipnya bertumpu pada sekolah dan masyarakat serta jauh dari birokrasi yang sentralistik. Manajemen berbasis sekolah (MBS) berpotensi untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, pemerataan, efisiensi, serta manajemen yang bertumpu pada tingkat sekolah.
Manajemen berbasis sekolah (MBS) dimaksudkan otonomi sekolah, menentukan sendiri apa yang perlu diajarkan, dan mengelola sumber daya yang ada untuk berinovasi. Manajemen berbasis sekolah (MBS) juga memiliki potensi yang besar untuk menciptakan kepala sekolah, guru, administrator yang professional. Dengan demikian, sekolah akan bersifat responsif terhadap kebutuhan masing-masing siswa dan masyarakat sekolah. Prestasi belajar siswa dapat dioptimalkan melalui partisipasi langsung orang tua dan masyarakat.

2.        Tujuan dari menejemen berbasis sekolah (MBS)?
Secara garis besar tujuan  Manajemen berbasis sekolah (MBS) adalah sebagai berikut :
a.              Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam megelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia;
b.             Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama;
c.              Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, masyarakat, dan pemerintah tentang mutu sekolahnya; dan
d.             Meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai.



3.        Prinsip dalam menejemen berbasis sekolah (MBS)
Teori yang digunakan Manajemen berbasis sekolah (MBS) untuk mengelola sekolah didasarkan pada empat prinsip yaitu:
a.       Prinsip Ekuifinalitas (Principal of Equifinality)
b.      Prinsip Desentralisasi (Principal of Decentralization)
c.       Prinsip Sistem Pengelolaan Mandiri (Principal of Self Managing System)
d.      Prinsip Inisiatif Manusia (Principal of Human Initiative)

4.        Komponen dalam menejemen berbasis sekolah (MBS)
Hal yang paling penting dalam implementasi Manajemen berbasis sekolah (MBS) adalah manajemen terhadap komponen-komponen sekolah itu sendiri. Sedikitnya terdapat tujuh komponen sekolah yang harus dikelola dengan baik dalam rangka manajemen berbasis sekolah (MBS), yaitu:
a.       Manajemen kurikulum dan program pengajaran
b.      Manajemen tenaga kependidikan
c.       Manajemen kesiswaan
d.      Manajemen keuangan dan pembiayaan
e.       Manajemen sarana dan prasarana pendidikan
f.       Manajemen hubungan sekolah dengan masyarakat
g.      Manajemen layanan khusus.

5.        Konsep dari manajemen berbasis sekolah (MBS)
Dengan mengadopsi ide dasar Edward B. Fiska (1996) Nanang Fatah Manajemen berbasis sekolah (MBS) secara konsepsional akan membawa dampak terhadap peningkatan kinerja sekolah dalam hal mutu, efisiensi manajemen keuangan, pemerataan lewat perubahan kebijakan desentralisasi di berbagai aspek seperti politik, edukatif, administratif dan anggaran pendidikan.

6.        Karakteristik dari manajemen berbasis sekolah (MBS)
Karakteristik Manajemen berbasis sekolah (MBS) bisa diketahui antara lain dari bagaimana sekolah dapat mengoptimalkan kinerja organisasi sekolah, proses belajar mengajar, pengelolaan sumber daya manusia, dan pengelolaan sumber daya dan administrasi. Sejalan dengan itu, Saud (2002) berdasarkan pelaksanaan di Negara maju mengemukakan bahwa karakteristik dasar Manajemen berbasis sekolah (MBS) adalah pemberian otonomi yang luas kepada sekolah, partisipasi masyarakat dan orang tua peserta didik yang tinggi. Kepemimpinan kepala sekolah yang demokratis dan professional, serta adanya team work yang tinggi dan professional.

7.        Penerapan dari Menejemen Berbasis Sekolah (MBS)
Penerapan Manajemen berbasis sekolah (MBS) mensyaratkan yang berikut :
a.       Manajemen berbasis sekolah (MBS) harus mendapat dukungan staf sekolah.
b.      Manajemen berbasis sekolah (MBS) lebih mungkin berhasil jika diterapkan secara bertahap.
c.       Staf sekolah dan kantor dinas harus memperoleh pelatihan penerapannya, pada saat yang sama juga harus belajar menyesuaikan diri dengan peran dan saluran komunikasi yang baru.
d.      Harus disediakan dukungan anggaran untuk pelatihan dan penyediaan waktu bagi staf untuk bertemu secara teratur.
e.       Pemerintah pusat dan daerah harus mendelegasikan wewenang kepada kepala sekolah, dan kepala sekolah selanjutnya berbagi kewenangan ini dengan para guru dan orang tua murid.

8.        Manajemen berbasis sekolah (MBS) yang berhubungan Prestasi Belajar Murid
MBS merupakan salah satu gagasan yang diterapkan untuk meningkatkan pendidikan umum. Tujuan akhirnya adalah meningkatkan lingkungan yang kondusif bagi pembelajaran murid. Dengan demikian, ia bukan sekadar cara demokratis melibatkan lebih banyak pihak dalam pengambilan keputusan. Keterlibatan itu tidak berarti banyak jika keputusan yang diambil tidak membuahkan hasil lebih baik.
Kita belum memiliki pengalaman untuk mengaitkan penerapan MBS dengan prestasi belajar murid. Di Amerika Serikat (David Peterson, ERIC_Digests, 2002) upaya mengaitkan MBS dengan prestasi belajar murid masih problematis. Belum banyak penelitian kuantitatif yang telah dilakukan dalam topik ini. Selain itu, masih diragukan apakah benar penerapan MBS berkaitan dengan prestasi murid. Boleh jadi masih banyak faktor lain yang mungkin mempengaruhi prestasi itu setelah diterapkannya MBS. Masalah penelitian ini makin diperparah dengan tiadanya definisi standar mengenai MBS. Studi yang dilakukan tidak selamanya mengindikasikan sejauhmana sekolah telah mendistribusikan kembali wewenangnya.
Salah satu studi yang dilakukan yang menelaah ratusan dokumen justru menunjukkan bahwa dalam banyak contoh, MBS tidak mencapai tujuan yang ditetapkan. Studi itu menunjukkan bahwa peningkatan prestasi murid tampaknya hanya terjadi di sejumlah sekolah yang dijadikan pilot studi dan dalam jangka waktu tidak lama pula.
Hasil MBS di daerah perkotaan masih belum jelas benar. Di sekolah di daerah pingiran kota Maryland menunjukkan adanya peningkatan prestasi murid dalam skor tes terutama di kalangan orang Amerika keturunan Afrika, setelah menerapkan lima langkah rencana reformasi, termasuk MBS. Namun, di tempat lain, seperti Dade County, Florida, setelah menerapkan MBS selama tiga tahun, prestasi murid di sekolah-sekolah dalam kota justru menurun.
Dengan kata lain, penerapan manajemen berbasis sekolah mungkin tidak berdampak pada belajar kecuali aturan-aturan ini, yang secara umum disebut peningkatan kapasitas dan pemanfaatan kapasitas, telah berhasil.

9.        Upaya agar  Manajemen berbasis sekolah (MBS) Meningkatkan Prestasi Belajar
Hasil penelitian tentang dampak penerapan MBS terhadap mutu pendidikan ternyata sangat bervariasi. Ada penelitian yang menyatakan negatif. Ada yang kosong-kosong. Ada pula yang positif.
Penelitian yang dilakukan oleh Leithwood dan Menzies (1998a) dengan 83 studi empirikal tentang MBS menyatakan bahwa penerapan MBS terhadap mutu pendidikan ternyata negatif, “there is virtually no firm”. Fullan (1993) juga menyatakan kesimpulan yang kurang lebih sama. “There is also no doubt that evidence of a direct cause-and-effect relationship between self-management and improved outcomes is minimal”. Tidak diragukan lagi bahwa hubungan sebab akibat hubungan antara MBS dengan peningkatan mutu hasil pendidikan adalah minimal. Hal ini dapat dimengerti karena penerapan MBS tidak secara langsung terkait dengan kejadian di ruang kelas.
Sebaliknya, Gaziel (1998) menyimpulkan hasil penelitian di sekolah-sekolah Esrael bahwa ”greater school autonomy has a positive impact on teacher motivation and commitment and on the school’s achievement”.
Pemberian otonomi yang lebih besar kepada sekolah telah mempunyai dampak positif terhadap motivasi dan komitmen guru dan terhadap keberhasilan sekolah. Hasil penelitan William (1997) di Kerajaan Inggris dan New Zealand menunjukkan bahwa “the increase decision-making power of principals has allowed them to introduce innovative programs and practices”. Peningkatan kemampuan kepala sekolah dalam pengambilan keputusan telah membuat memperkenalkan program dan praktik (penyelenggaraan pendidikan) yang inovatif. Geoff Spring, arsitek reformasi di Australia Selatan dan Victoria menyatakan bahwa “school-based management has led to higher student achievement” De Grouwe (1999).
Hal yang menggembirakan juga dinyatakan oleh King dan Ozler (1998) menyatakan bahwa “enhanced community and parental involvement in EDUCO schools has improved students language skills and diminished absenteeism”. Jemenez dan Sawada (1998) menyimpulkan bahwa pelibatan masyarakat dan orangtua siswa mempunyai dampak jangka panjang dalam peningkatan hasil belajar.

10.    Strategi peningkatan mutu pendidikan melalui Manajemen berbasis sekolah (MBS)
Salah satu strategi adalah menciptakan prakondisi yang kondusif untuk dapat menerapkan MBS, yakni:
a.       Peningkatan kapasitas dan komitmen seluruh warga sekolah, termasuk masyarakat dan orangtua siswa. Upaya untuk memperkuat peran kepala sekolah harus menjadi kebijakan yang mengiringi penerapan kebijakan MBS. ”An essential point is that schools and teachers will need capacity building if school-based management is to work”. Demikian De grouwe menegaskan.
b.      Membangun budaya sekolah (school culture) yang demokratis, transparan, dan akuntabel. Termasuk membiasakan sekolah untuk membuat laporan pertanggungjawaban kepada masyarakat. Model memajangkan RAPBS di papan pengumuman sekolah yang dilakukan oleh Managing Basic Education (MBE) merupakan tahap awal yang sangat positif. Juga membuat laporan secara insidental berupa booklet, leaflet, atau poster tentang rencana kegiatan sekolah. Alangkah serasinya jika kepala sekolah dan ketua Komite Sekolah dapat tampil bersama dalam media tersebut.
c.       Pemerintah pusat lebih memainkan peran monitoring dan evaluasi. Dengan kata lain, pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu melakukan kegiatan bersama dalam rangka monitoring dan evaluasi pelaksanaan MBS di sekolah, termasuk pelaksanaan block grant yang diterima sekolah.
d.      Mengembangkan model program pemberdayaan sekolah. Bukan hanya sekedar melakukan pelatihan MBS, yang lebih banyak dipenuhi dengan pemberian informasi kepada sekolah. Model pemberdayaan sekolah berupa pendampingan atau fasilitasi dinilai lebih memberikan hasil yang lebih nyata dibandingkan dengan pola-pola lama berupa penataran MBS.

11.    Hambatan yang terjadi dalam penerapan Manajemen berbasis sekolah (MBS)
Beberapa hambatan yang mungkin dihadapi pihak-pihak berkepentingan dalam penerapan Manajemen berbasis sekolah (MBS) adalah sebagai berikut :
a.       Tidak Berminat Untuk Terlibat
b.      Tidak Efisien
c.       Pikiran Kelompok
d.      Memerlukan Pelatihan
e.       Kebingungan Atas Peran dan Tanggung Jawab Baru
f.       Kesulitan Koordinasi

12.    Keuntungan dari penerapan Manajemen berbasis sekolah (MBS)
Beberapa keuntungan Manajemen berbasis sekolah (MBS) adalah sebagai berikut:
a.       Kebijaksanaan dan kewenangan sekolah membawa pengaruh langsung kepada peserta didik, orang tua, dan guru.
b.      Bertujuan bagaimana memanfaatkan sumber daya lokal.
c.       Efektif dalam melakukan pembinaan peserta didik seperti kehadiran, hasil belajar, tingkat pengulangan, tingkat putus sekolah, moral guru, dan iklim sekolah.
d.      Adanya perhatian bersama untuk mengambil keputusan, memberdayakan guru, manajemen sekolah, rancangan ulang sekolah, dan perubahan perencanaan.

Adapun manfaat yang diperoleh dari manajemen berbasis sekolah (MBS) adalah :
a.       Dengan kondisi setempat, sekolah dapat meningkatkan kesejahteraan guru sehingga dapat lebih berkonsentrasi pada tugasnya;
b.      Keleluasaan dalam mengelola sumberdaya dan dalam menyertakan masyarakat untuk berpartisipasi, mendorong profesionalisme kepala sekolah, dalam peranannya sebagai manajer maupun pemimpin sekolah;
c.       Guru didorong untuk berinovasi;
d.      Rasa tanggap sekolah terhadap kebutuhan setempat meningkat dan menjamin layanan pendidikan sesuai dengan tuntutan masyarakat sekolah dan peserta didik.

13.    Kepemimpinan dalam manajemen berbasis sekolah (MBS)
1.         Pengertian
Menurut Sutisna, kepemimpinan adalah proses mempengaruhi kegiatan seseorang atau kelompok dalam usaha ke arah pencapaian tujuan dalam situasi tertentu. Menurut Soepardi, kepemimpinan adalah kemampuan untuk menggerakkan, mempengaruhi, memotivasi, mengajak, mengarahkan, menasehati, membimbing, menyuruh, memerintah, melarang, dan bahkan menghukum (kalau perlu) serta membina dengan maksud agar manusia sebagai media manajemen mau bekerja dalam rangka mencapai tujuan administrasi secara efektif dan efisien.
2.         Gaya Kepemimpinan
Adalah cara yang digunakan pemimpin dalam mempengaruhi para pengikutnya. Thoha mengartikan sebagai norma perilaku yang digunakan seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain seperti yang ia lihat.
3.      Kepemimpinan Dalam Peningkatan Kinerja
a.    Pembinaan disiplin (self-disipline)
b.    Pembangkitan motivasi
c.    Penghargaan (rewards)
4.      Kepemimpinan Kepala Sekolah yang Efektif Kriteria kepemimpin kepala sekolah yang efektif, kriterianya :
a.    Mampu memberdayakan guru untuk melaksanakan proses pembelajaran yang baik, lancar, dan produktif.
b.    Dapat menyelesaikan tugas dan pekerjaan tepat waktu.
c.    Mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan masyarakat, melibatkan masyarakat secara aktif dalam rangka mewujudkan tujuan sekolah dan pendidikan.
d.   Berhasil menerapkan prinsip kepemimpinan yang sesuai dengan tingkat kedewasaan guru dan pegawai lain di sekolah.
e.    Berhasil mewujudkan tujuan sekolah secara produktif sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.

14.    Koordinasi, Komunikasi, dan Supervisi dalam manajemen berbasis sekolah (MBS)
1.         Koordinasi dalam MBS
Coordination, berasal dari bahasa latin cum, artinya berbeda-beda, sedangkan ordinare, artinya penyusunan/penempatan sesuatu pada keharusannya. Dalam MBS koordinasi berkaitan dengan penempatan berbagai kegiatan yang berbeda – beda pada keharusan tertentu sesuai aturan yang berlaku untuk mencapai tujuan dengan sebaik-baiknya melalui proses yang tidak membosankan.
Ada lima prinsip utama yang harus diperhatikan agar koordinasi berjalan lancar, antara lain : koordinasi harus dimulai dari tahap perencanaan awal, menciptakan iklim yang kondusif bagi kepentingan bersama, koordinasi merupakan proses yang terus menerus dan berkesinambungan, koordinasi merupakan pertemuan-pertemuan bersama untuk mencapai tujuan, serta perbedaan pendapat harus diakui sebagai pengayaan dan harus dikemukakan secara terbuka dan diselidiki dalam kaitannya dengan situasi secara keseluruhan.
2.         Komunikasi dalam MBS
a.       Komunikasi Intern
·      Dasar : komunikasi yang baik antara berbagai personil harus dikembangkan untuk mencapai hasil seoptimal mungkin. Kurang komunikasi akan mengakibatkan kurangnya hasil yang dapat diwujudkan, bahkan sering gagal mencapai tujuan.
·      Tujuan : menciptakan kondisi menarik dan hangat, personil dapat bekerja terdorong untuk berprestasi lebih baik dan mengerjakan tugas mendidik dengan penuh kesadaran.
·      Manfaat : mudah dalam memecahkan/menyelesaikan masalah dengan bantuan orang (diskusi).
b.      Komunikasi Ekstern
1.   Hubungan Sekolah dengan Orang Tua
Tujuan : saling membantu dan saling isi mengisi mengenai bantuan keuangan dan barang-barang, untuk mencegah perbuatan yang kurang baik, dan bersama-sama membuat rencana yang baik untuk sang anak.
2.   Hubungan Sekolah dengan masyarakat
Tujuannya ada 2 dimensi :
·         Kepentingan sekolah : memelihara kelangsungan hidup sekolah, meningkatkan mutu pendidikan di sekolah, memperlancar kegiatan belajar mengajar, memperoleh bantuan dan dukungan dari masyarakat dalam rangka pengembangan dan pelaksanaan program sekolah.
·         Kebutuhan sekolah : memajukan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, memperoleh kemajuan sekolah dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi masyarakat, menjamin relevansi program sekolah dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat, memperoleh kembali anggota masyarakat yang terampil dan makin meningkatkan kemampuannya.
Hubungan dapat dijalin dengan melalui dewan sekolah, melalui rapat BP3, melalui rapat bersama, konsultasi, radio, tv, surat, telepon, pameran sekolah (pameran hasil karya peserta didik, pementasan,dan mencari dana) , serta melalui ceramah.
3.         Supervisi dalam MBS
Secara etimologi kata super dan visi mengandung arti melihat dan meninjau dari atas atau menilik dan menilai dari atas yang dilakukan oleh pihak atasan terhadap aktivitas, kreativitas dan kinerja bawahan. Istilah yang hampir sama dengan supervisi, yaitu pengawasan. Pengawasan adalah kegiatan untuk melakukan pengamatan agar pekerjaan dilakukan sesuai dengan ketentuan. Pemeriksaan maksudnya untuk melihat bagaimana kegiatan yang dilaksanakan telah mencapai tujuan.
Dalam MBS, supervise ditekankan pada pembinaan dan peningkatan kemampuan serta kinerja tenaga kependidikan di sekolah dalam melaksanakan tugas. Dalam Carter Good’s dictionary of Education (dalam Mulyasa,2009:155), supervisi adalah segala usaha pejabat sekolah dalam memimpin guru-guru dan tenaga kependidikan lainnya untuk memperbaiki pengajaran, termasuk menstimulasi, menyeleksi pertumbuhan dan perkembangan jabatan guru-guru, menyeleksi dan merevisi tujuan–tujuan pendidikan, bahan pengajaran dan metode-metode mengajar serta evaluasi pengajaran.  Sutisna mendeskripsikan supervise sebagai bantuan dalam pengembangan situasi belajar mengajar yang lebih baik.
Supervisi yang baik hendaknya mengembangkan kepemimpinan dalam kelompok, membangun program satu tahun dalam jabatan untuk meningkatkan keterampilan dan kemampuan guru dalam menilai hasil pekerjaannya. Sahertian mengartikan supervise sebagai usaha mengawali, mengarahkan, menkoordinasi dan membimbing secara kontinu pertumbuhan guru baik secara individual maupun secara kolektif, agar lebih mengerti dan lebih efektif dalam mewujudkan seluruh fungsi pengajaran sehingga dapat menstimulasi dan membimbing pertumbuhan tiap murid secara kontinyu sehingga dapat lebih cepat berpartisipasi dalam masyarakat demokrasi modern.

15.    Indikator keberhasilan manajemen berbasis sekolah (MBS)
Yang menjadi faktor keberhasilan MBS diantaranya adalah sebagai berikut :
1.      Adanya pemerataan pendidikan
2.      Kualitas pendidikan (input, proses, output).
3.      Efektivitas dan efisiensi pendidikan
4.      Tata pengelolaan sekolah yang baik

16.    Peran Kepala Sekolah, Guru, Orang Tua dan Masyarakat dalam menejemen berbasis sekolah (MBS)
Beberapa pihak yang mempunyai peran yang sangat penting dalam pelaksanaan MBS adalah
a.         Kepala Sekolah
Dalam implementasi Manajemen berbasis sekolah, tanggung jawab utama (key person) berada di pundak kepala sekolah (school principals). Kepala sekolah dikatakan sebagai faktor kunci karena kepala sekolah memainkan peranan yang sangat penting dalam keseluruhan spektrum pengelolaan sekolah. Peran kepala sekolah antara lain:
1.      Mengimplementasikan Manajemen berbasis sekolah dengan penerapan manajemen yang partisipatif dan transparan melalui pola kepemimpinan yang terbuka, demokratis, saling menghargai, terbuka, kekeluargaan, dan selalu menjaga hubungan kemanusian.
2.      Menjalankan peran supervisi kepala sekolah dalam pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan besar sekali pengaruhnya dalam membantu guru merealisasikan kegiatan pembelajaran yang aktif, kreatif dan menyenangkan tersebut.
3.      Kepala sekolah berperan aktif dalam melibatkan orang tua dan komite sekolah mendukung program-program sekolah.

b.         Guru
Pemberdayaan dan akuntabilitas guru dan administrator adalah syarat penting dalam MBS. Peran guru dalam MBS menurut Cheng (1996) adalah sebagai  rekan kerja, pengambilo keputusan, dan pengimplementasi program pengajaran. Mereka bekerja bersama-sama dengan komitmen bersama dan berpartiosipasi dalam pengambilan keputusan untuk mempromosikan pengajaran efektif dan mengembangkan sekolah mereka dengan antusiasme.

c.         Orang tua dan masyarakat (Komite sekolah)
Penelitian yang dilakukan Balitbang Diknas RI menunjukan bahwa berdasarkan penilaian guru, tingkat partisipasi orangtua siswa dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan di sekolah adalah rendah, yaitu rata-rata hanya 57,1%. Partisipasi orang tua siswa yang sangat rendah ialah dalam hall menentukan kebijakan program sekolah dan mengawasinya, pertemuan rutin, kegiatan ekstarkurikuler dan pengembangan iklim sekolah. Partisipasi orang tua siswa yang sangat tinggi ialah dalam mengawasi mutu sekolah, pertemuan BP3, pembayaran dan bentuk iuran BP3 perbulan dan sumbangan uang gedung untuk siswa baru.
Sejalan dengan upaya reformasi pendidikan nasional melalui MBS, hubungan sekolah dengan keluarga dan masyarakat juga perlu direformasi sehingga tanggung jawab pendidikan bukan hanya dibebankan pada sekolah. Caranya dengan membentuk Dewan Pendidikan, Komite Sekolah, Persatuan Guru dan Orangtua Siswa, atau apapun namanya untuk memberdayakan orangtuanya dan masyarakat dalam pendidikan. Anggotanya terdiri dari orangtua siswa, akademisi, pemuka agama, pimpinan partai politik, tokoh masyarakat, pakar pendidikan, usahawan, dan dunia industri serta kalangan LSM.
Tokoh masyarakat juga memiliki peran yang penting demi kemajuan pendidikan antara lain sebagai berikut :
1.      Pergerakan
2.      Informan dan penghubung
3.      Koordinator
4.      Pengusul



3.2  Saran
























Daftar Pustaka

Amiruddin Siahaan dkk, 2006 Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah, Jakarta: Quantum Teaching. anugrahazzavirtium. Posted on Juli 15, 2012. Manajemen berbasis sekolah. Dipostkan oleh anugrahazzavirtium di http://anugrahazzavirtium.wordpress.com/2012/07/15/manajemen-berbasis-sekolah-makalah-kuliah-kite-gan-2.html
Depdiknas, 2001. Panduan Monitoring dan Evaluasi dalam Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta: Dikmenum. 
E. Mulyasa, Manajemen berbasis sekolah, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004 Nanang Fattah, Konsep Manajemen berbasis sekolah (MBS) dan Dewan Sekolah, Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004
Fadjar, Malik, 2002, Kata Pengantar dalam Ibtisam Abu Duhou, School-Based Management (Penerjemah Noryamin Aini), Jakarta: Logos.
lyla-innocent. Kamis, 14 juni 2012. Management berbasis sekolah. Dipostkan oleh lyla di http://layla-innocent.blogspot.com/2012/06/makalah-manajemen-berbasis-sekolah.html
purwantini. minggu, 15 juli 2007. managemen berbasis sekolah. purwantini manajemenberbasissekolah



Tidak ada komentar:

Posting Komentar